Laman

Minggu, 18 Juni 2017

Cerpen : "Smiling Tears"

Smiling Tears

            Dia itu sesuatu. Sesuatu yang mengajarkanku betapa berharganya setetes air mata. Sesuatu yang mengguruiku tentang sebuah keharusan air mata untuk tidak terjatuh. Namun aku tahu, meskipun tampak bahagia, dia rapuh di dalam.
Sekilas untaian kata dariku tentangnya. Dia berbeda dengan wanita pada umumnya. Berselimut wajah bahagia, dia terus berusaha menutupi luka masih berdiam di kalbunya. Fadilla Ramadhana, nama yang aku sebut dalam setiap doaku. Nama yang akan selalu ku janjikan. Nama yang ingin ku bawa keluar dari sumur lara.
“Dil, kamu siap-siap. Ada yang ingin bertemu denganmu besok”,
“Siapa? Tumben sekali ada yang mencari saya”, wajahnya penuh tanda tanya.
“Sudahlah, tak usah banyak tanya. Saya yakin kamu pasti senang bertemu dengannya.” balasku kepadanya.
“Hmm..., oke. Tapi, saya harus apa? Apa saya harus berdandan rapi? Saya betul-betul penasaran”, ia masih diselimuti rasa penasaran yang tinggi.
“Tak usah berdandan kamu pun tetap cantik. Toh, dia masih ingin kamu yang apa adanya. Sekarang, beristirahatlah. Tersenyumlah sebelum tidur agar mimpimu indah. Allah menyaksikanmu. Jadi, jangan lupa berdoa.”, aku selalu berusaha menampakkan senyumanku di hadapannya. Dia membutuhkan senyum orang-orang yang di dekatnya. Karena aku tahu dia rapuh. Aku pun selalu ingin lekukan itu juga tampak di wajahnya.
“Ah, kamu bisa saja. Hati-hati jalan pulang. Allah juga menyaksikanmu.”, ia membalasku dengan senyuman khas yang membuatku akan selalu mengingatnya.
“Ya sudah, saya pulang dulu. Assalamu’alaikum..”
Dia punya banyak bahagia yang masih mendekam dalam hatinya. Aku ingin mengeluarkan semua itu. Karena dengan senyum yang ia tampakkan, aku bahagia.
~{0}~
“Assalamu’alaikum, Bu. Azhar pulang”, aku mengetuk pintu rumahku.
“Wa’alaikumussalam, Nak. Ayo masuk, Nak. Ibu sudah siapkan sayur sop kesukaanmu”, senyumnya seakan memintaku untuk duduk diam di kursi yang ada di sekitar meja makan.
“Wahh.... Pas banget. Kebetulan saya sedang suka sama sayur sop, apalagi ini buatan ibu. Pasti rasanya enak dan saya sudah merindukannya sejak lama”
“Ah, bisa saja kamu, nak. Oh iya, bagaimana hubunganmu dengan dia?”, Ibu menunjukkan keseriusannya. Siapa yang ibu maksud?
“Dia siapa ya, Bu?”, aku mengerutkan kening yang sedikit bermandikan keringat. Dalam otakku, seribu tanda tanya menggantung menanti jawaban.
“Sudahlah, jangan mencoba untuk berbohong pada ibu. Nak, kau sedang jatuh cinta, bukan?”, tangannya masih memegang pisau yang baru saja beliau gunakan untuk mengupas kulit kentang.
Mengapa tiba-tiba beliau bertanya seperti itu? Memang benar, akhir-akhir ini senyum gadis itu selalu terpampang di depan wajahku. Tetapi, ibu tahu dari mana? Sedangkan aku saja belum menyimpulkan sendiri tentang perasaanku pada gadis itu.
            “Ah, ibu ada-ada saja. Dia kan sahabatku, Bu. Mana mungkin saya jatuh cinta padanya? Lagipula, saya sudah berjanji untuk tidak menyakitinya. Dia itu sudah punya pujaan hati. Dan yang jelas, itu bukan saya”, aku beruntung masih dapat mengelak dari ibu. Tetapi, aku benar-benar menyesal telah membohonginya.
            “Ya sudahlah. Tak apa kalau kamu tidak ingin jujur pada ibumu, Nak. Sesungguhnya, ibumu adalah orang yang paling tahu segala hal tentang dirimu. Jadi, jangan coba-coba berbohong pada ibu”, senyumnya menghujam batinku. Matanya seolah membunuhku. Ia sangat yakin kalau aku sedang berbohong padanya
            Maaf ibu, aku bukan ingin mencoba membohongimu. Ini bukan waktu yang tepat bagiku. Aku masih ingin merahasiakannya. Aku masih tidak tega apabila ibu sedih ketika mendengar ini, karena aku tahu bahwa seorang ibu dapat merasakan sakit hati yang dirasakan oleh anaknya. Ibu, izinkan aku menyembunyikannya sebentar saja dan aku janji, aku akan beritahu ibu kelak.
~{0}~
            Dering handphone-ku berbunyi. Seseorang meneleponku. Tertera nama yang sangat familiar di layar. Zaynal, sahabat karibku yang sedang merantau di ibukota. Sosok yang mengajariku banyak hal. Dia sudah lama tidak pulang ke kampung halamannya. Hari ini, dia akan kembali ke sini.
            “Halo. Assalamu’alaikum, Har”, Zaynal memulai perbincangan jarak jauh ini.
            “Wa’alaikumussalam, Nal. Kamu jadi pulang, bukan? Jangan coba-coba lupa pada janjimu kemarin. 14 Mei, di tanggal itu kau akan pulang. Lagipula, seseorang sedang menantimu di sini. Jadi, jangan kecewakan dia, ya?”.
            “Iya iya. Kamu jangan khawatir begitu. Saya akan menepati janji. Oh iya, siapa yang kamu maksud?”
            “Nanti kamu tahu sendiri. Kamu mau saya jemput jam berapa? Mumpung saya sedang tidak sibuk dan saya juga sudah menantikan pertemuan kita”
            “Ah, bisa saja kamu. Oke, jemput saya di stasiun jam 09.00, ya? Saya akan kabari lagi nanti. Wassalamu’alaikum”
            “Oke, siap, pak bos! Wa’alaikumussalam. Hati-hati”
            Handphone ini kumatikan. Bicara tentang Zaynal, dia dulunya siswa terbaik di SMP-ku. Nilainya begitu memuaskan. Terlebih lagi, dirinya sangat bertanggung jawab. Ia sangat risih ketika aku ataupun temannya melakukan sesuatu seenaknya. Dia bahkan pernah memarahiku berjam-jam karena kelalaianku. Dia juga pernah berselisih paham denganku hanya karena seekor ulat. Sungguh, pengalaman yang tak bisa kulupakan.
Namun, ada satu hal yang aku benci darinya. Dia terlalu mudah untuk mencintai orang lain. Hal ini yang membuatku khawatir akan kesetiaannya pada Dilla. Bagaimanapun juga, aku bertanggung jawab atas kebahagiaan mereka dan aku enggan melihat mereka berpisah lebih dini hanya karena keraguan yang menyelimuti mereka. Apalagi, jarak telah memisahkan raga mereka cukup lama. Aku selalu berkata pada Dilla bahwa jarak yang akan menguatkan mereka. Aku juga selalu berkata padanya bahwa dia akan bahagia, kapanpun waktunya.
Jam tanganku telah menunjukkan pukul 08.00. Itu artinya, aku harus segera bersiap untuk menjemput Zaynal. Segera kupakai celana panjang dan kemeja yang belum sempat aku seterika. Serta sepatu dengan sedikit sobekan kecil di bagian depan dan bagian dalam. Aku memang sedikit tak peduli tentang penampilanku. Bagiku, penampilan tetap saja tidak dapat merubah nasib. Don’t judge a book by its cover. Lagipula, dengan penampilan seperti ini pun, aku masih terlihat tampan. Sombong sedikit masih bisa dimaafkan, ya?.
Aku langsung menemui ibu. “Bu, saya pergi sebentar. Saya hendak menjemput Zaynal di stasiun. Dia datang hari ini hendak menemui saya dan Dilla. Maklum lah, bu. Kami sudah lama tidak bertemu.”
“Oh, ya sudah. Jangan lupa membawa bingkisan pada mereka. Ini kan kesempatan yang sangat jarang. Dan segera kau mengatakan perasaanmu ke Dilla. Jangan ditunda-tunda.”
“Ih, ada apa sih, bu? Kenapa ibu suka sekali membahas Dilla? Dia itu hanya sahabatku, bu. Tolong ibu jangan melebih-lebihkan.”
“Haha, terserah kamu. Ya sudah, cepat! Nanti terlambat kamu jemput Zaynal.” Ibu tertawa kecil lalu memposisikan matanya ke arahku.
“Ya sudah, saya berangkat sekarang, bu. Assalamu’alaikum..”
            “Wa’alaikumussalam, nak. Hati-hati”
            Lagi-lagi ibu membahas tentang Dilla. Mengapa harus dia? Tapi, benar juga ucapannya. Sebaiknya aku cepat-cepat mengutarakan perasaanku pada Dilla. Tunggu, perasaan apa? Apakah aku mencintainya? Apakah aku terlambat menyadari hadirnya rasa ini? Entahlah. Mau cinta atau tidak, aku harus tetap membahagiakannya. Itu sudah menjadi tanggung jawabku. Aku juga sudah berjanji padanya. Sebaiknya aku fokus pada janjiku padanya terlebih dahulu. Lagipula, aku tidak begitu yakin tentang perasaan yang kusimpan untuknya.
Tak habis pikir memikirkan soal itu. Membingungkan, semuanya berubah menjadi sesuatu yang membingungkan. Perasaan ini dapat dengan mudah menaik turunkan emosiku. Jika benar, mengapa harus aku yang merasakan ini? Ini benar-benar di luar dugaanku.
Aku mengeluarkan handphone dari saku celanaku. Aku belum mengabari Zaynal soal keberangkatanku. Aku harus mengabarinya agar tak terjadi hal yang tidak-tidak. Aku putuskan hanya mengirimnya sebuah pesan singkat dengan harapan dia membacanya.
Aku kembali melanjutkan perjalananku. Ditemani cahaya matahari yang mulai naik dari ufuk timur. Tidak ketinggalan, suara kicauan burung menambah kehangatan pagi. Terdengar pula suara anak-anak desa sedang bernyanyi dan bergembira. Mereka selalu saja punya cara untuk bahagia. Mereka menemukan kebahagiaan itu dengan cara yang sederhana. Tidak muluk-muluk, dan cukup hanya dengan bermain, menari, dan tertawa bersama.
Setibanya di stasiun, aku duduk di kursi tunggu. Kulihat kembali handphone-ku yang aku letakkan di saku celana. Aku berniat menghubungi Zaynal, bahwa aku telah sampai di stasiun sambil berharap tak terjadi apa-apa padanya. Karena pesan singkatku sedari tadi juga belum dibalas.
“Aduh, bagaimana ini? Belum diangkat juga.”, gumamku sambil mondar mandir kesana kemari menanti kabar dari Zaynal. Aku coba menghubungi dia lagi.
“Iya, halo. Assalamu’alaikum, ris. Maaf baru buka HP. Barusan ketiduran”, suaranya terdengar berat. Aku semakin yakin kalau dia memang baru saja tertidur.
“Wa’alaikumussalam. Owalah ketiduran ternyata. Saya kira kamu kenapa-kenapa. Sampai mana? Berapa menit lagi kira-kira keretamu sampai di sini?”
“Di tiketnya sih sekitar jam 09.18. Ya, paling tidak lima menit lagi. Kamu tunggu saja di sana. Oh iya, Dilla tahu tidak kalau aku hari ini pulang?”
“Kalau soal itu, saya belum kasih tahu. Hitung-hitung kejutan saja. Dia berharap sekali kamu bisa pulang ke sini.”
“Jadi, kamu belum kasih tahu dia? Ya sudahlah, tak apa. Ceritanya nanti saja, ya? Pulsaku tinggal sedikit. Wassalamu’alaikum..”
“Haha.. Ada-ada saja. Lha wong mau pulang kok tidak menyiapkan pulsa dulu. Ya sudah, wa’alaikumussalam..”
~{0}~
“Jadi begini, Har. Saya itu sudah punya kekasih lagi. Saya itu sudah tidak tahan ingin memiliki dia. Maaf kalau saya baru bilang sekarang. Ingat, ya, tadi kamu sudah berjanji untuk jaga rahasia saya. Lagipula, aku lebih berhak memberitahu Dilla soal ini.”, aku terkejut mendengar perkataannya. Mataku terbelalak. Terbayang betapa sedihnya kalau Dilla sampai tahu soal ini. Dalam hati, aku seperti tidak bisa memaafkan Zaynal. Tetapi, di satu sisi pula, aku merasa senang mendengar kabar darinya. Ada apa denganku? Apakah ini perasaan yang sering ibu singgung ketika membicarakan Dilla? Arrgghhh... Ini sungguh aneh.
“Kenapa kamu melakukan hal itu? Bukankah kamu sudah berjanji pada Dilla untuk selalu setia padanya? Saya masih belum siap untuk melihatnya menangis, Nal. Baiklah, saya tidak akan memberitahu rahasiamu ke Dilla. Tapi, kau harus bertanggung jawab atas semua kekecewaannya setelah kau beritahu soal ini. Saya pergi dulu”
Aku berlalu dari Zaynal. Dia benar-benar gila. Dia sama sekali tak memikirkan gadis itu. Sekarang, apa yang lebih buruk dari air matanya?
 Aku kecewa padamu, Nal. Aku kira kau sosok yang pas untuk membahagiakannya. Tetapi, ternyata.. Aku benci caramu membuatnya bersedih. Kau bukan pria sejati. Kau dengan tega menyakiti gadis yang benar-benar mencintaimu. Kau membuatnya mengeluarkan air mata.
“Har, tunggu! Kau tak lupa pada janji kalau kamu akan menjemput saya, bukan? Maafkan saya yang telah membuatmu kecewa. Saya janji akan bertanggung jawab atas kekecewaan Dilla. Saya akan buat dia tersenyum lagi. Tolong bantu saya untuk menemuinya sekarang. Ini waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Tolong saya, Har”, matanya berkaca-kaca, bersiap mengeluarkan tetesannya. Wajahnya yang dipenuhi rasa bersalah itu menunduk ke lantai. Air matanya pun kini telah jatuh dan membekas di pipinya.
Aku menjulurkan tanganku ke hadapannya. Hingga ia menggerakkan kepalanya ke atas. Senyumnya kembali mengembang. Perlahan, dia kembali mendapatkan kepercayaanku yang baru saja hilang ditelan kekecewaan yang aku alami.
“Bangunlah... Walaupun saya kecewa. Saya akan tetap menghormati air matamu yang telah terjatuh. Karena saya sadar, saya itu masih sahabatmu yang bertanggung jawab atas kebahagiaanmu juga. Kamu masih punya kesempatan, Nal. Bayarlah dengan kesungguhan hati”
“Terima kasih, Har. Saya beruntung bisa bersahabat dengan sosok pemaaf sepertimu”, ia membangkitkan senyumannya. Dengan cepat, ia lalu memeluk erat tubuhku. Tetapi, raga ini menolak. Bagaimanapun juga raga ini adalah saksi bisu kekecewaan yang hatiku rasakan. Rasa kecewa ini masih belum beranjak.
“Ya sudah, kita ke rumah Dilla sekarang. Ingat! Jangan buat dia kecewa, ya? Saya pegang omongan kamu, Nal”
~{0}~
“Assalamu’alaikum....”, aku mengetuk pintu rumahnya. Seseorang terlihat berjalan dari dalam rumah. Dibukalah pintu rumahnya yang sudah cukup termakan usia.
“Wa’alaikumussalam... Eh, kamu ternyata. Ayo masuk”, senyumnya yang manis seakan memintaku untuk ikut masuk bersamanya. Dilla, ia tampak cantik. Cantik sekali. Aku tak pernah melihatnya sampai seperti ini. Apa yang membuat mata ini betah memandangnya? Pipinya yang agak tembem semakin meyakinkan pandanganku. Ahh tidak tidak! Aku tidak boleh jatuh cinta padanya.
“Emm... Sebentar. Kamu melupakannya. Semalam kan saya bilang kalau ada seseorang yang ingin menemuimu. Dan dia sudah berada di sini. Apa kamu tidak merasakan kehadirannya?”, lisanku menyanggah pandanganku tadi. Ia rupanya sepaham dengan otakku yang tak ingin mataku terlalu lama memujinya.
“Oh, iya. Saya lupa. Sebenarnya siapa dia? Saya penasaran”
“Dia itu seseorang yang telah lama kamu harapkan. Dia kembali dengan banyak cerita yang sangat ingin disampaikannya kepadamu. Dia lah orang yang kamu cintai. Zaynal pulang, Dil”, senyuman manisnya semakin menjadi. Ia tampak bahagia. Sudah lama sekali aku tak melihatnya sebahagia ini.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu bahwa sebenarnya Zaynal pulang membawa kabar buruk yang akan ditujukan pada Dilla. Aku harus bersiap melihatnya menangis lagi, lagi dan lagi. Bahkan sekedar untuk bersiap, membayangkannya saja sudah tersiksa. Sebagai sahabat, apakah kegagalan itu kembali menghinggap di diriku? Apakah aku akan gagal lagi mempersatukan mereka, membahagiakan mereka? Sungguh, aku tak akan dapat bangun dari sebuah kegagalan.
            Kebahagiaan di sebuah hubungan yang kita jalani harus dapat dirasakan oleh setiap pelaku hubungan tersebut. Canda, tawa dan senda gurau sudah seharusnya menemani hari-hari kita. Kita tak perlu mewah untuk mewujudkan sebuah kebahagiaan itu. Kita hanya butuh sebuah kepercayaan dan kesetiaan yang tertanam di hati masing-masing. Serta membutuhkan komitmen untuk saling membahagiakan satu sama lain agar persahabatan kita terasa sempurna.
~{0}~
“Har, saya sudah berterus terang padanya. Sekarang, hanya kamu yang berhak menghapus air matanya. Dan kau harus lakukan itu. Saya tahu ketulusan cintamu padanya. Kamu sama sekali tak ingin melihat dirinya jauh dari kebahagiaan, bukan? Pergilah! Dia membutuhkanmu”, Zaynal membawaku ke Dilla. Dia mempersilakanku masuk menemani Dilla. Aku melihat air matanya mengalir deras. Batinku sangat tersiksa melihat hal itu. Teringin sekali aku menghapus air matanya dan membuat lekukan itu kembali tersungging di antara kedua pipinya yang tembem.
“Zaynal, apa yang kamu lakukan pada Dilla? Lalu mengapa kau mempersilakan saya untuk menghapus air matanya.”
“Dia membutuhkan seseorang yang benar-benar tulus mencintai dirinya. Dan sosok itu adalah Azhar. Iya itu kamu. Kamu punya kesempatan untuk selalu membuatnya tersenyum. Jadi, berbahagialah dengannya”, Zaynal menepuk pundakku. Ia pun tersenyum yang menandakan ia telah merelakan semuanya padaku. Senyum itu juga tanda bahwa ia telah menyerahkan kepercayaannya padaku.
“Terima kasih, Nal.”, kali ini ragaku sangat ingin memeluknya. Kekecewaan yang sempat aku rasakan tadi seakan menghilang begitu saja. Ya Allah, terima kasih. Kau masih menginginkan persahabatan kami tetap hidup.
“Sama-sama. Sudah saya bilang. Saya akan menepati janji itu. Saya akan membahagiakannya. Dan saya sudah lakukan semua itu. Dia bahagia bersamamu. Sekarang, kau boleh panggil saya lelaki.”
“Haha... Masih bisa sombong juga ternyata. Saya juga janji akan membahagiakan Dilla. Terima kasih sudah mempermudah jalan dalam meraih tujuanku itu.”
Aku bergegas menemui Dilla. Mengutarakan semua yang ada di hatiku. Kuhembuskan nafas cinta di telinga kanannya. Kubisikkan kata sahabat di telinga kirinya. Bagaimanapun, persahabatan juga tetap harus dijaga. Komitmenku padanya adalah sebagai seorang sahabat. Akhirnya, aku dapat memulai kebahagiaan bersamanya.
I love you, always. I will never ask for more than your smile. Because the time when I felt happy is the time when I saw your smile. Be a smiling one, please...

Pituruh, 2 Juni 2017. 16.41