Smiling Tears
Dia itu sesuatu. Sesuatu yang mengajarkanku
betapa berharganya setetes air mata. Sesuatu yang mengguruiku tentang sebuah
keharusan air mata untuk tidak terjatuh. Namun aku tahu, meskipun tampak
bahagia, dia rapuh di dalam.
Sekilas
untaian kata dariku tentangnya. Dia berbeda dengan wanita pada umumnya. Berselimut
wajah bahagia, dia terus berusaha menutupi luka masih berdiam di kalbunya. Fadilla
Ramadhana, nama yang aku sebut dalam setiap doaku. Nama yang akan selalu ku janjikan.
Nama yang ingin ku bawa keluar dari sumur lara.
“Dil, kamu
siap-siap. Ada yang ingin bertemu denganmu besok”,
“Siapa?
Tumben sekali ada yang mencari saya”, wajahnya penuh tanda tanya.
“Sudahlah,
tak usah banyak tanya. Saya yakin kamu pasti senang bertemu dengannya.” balasku
kepadanya.
“Hmm...,
oke. Tapi, saya harus apa? Apa saya harus berdandan rapi? Saya betul-betul
penasaran”, ia masih diselimuti rasa penasaran yang tinggi.
“Tak
usah berdandan kamu pun tetap cantik. Toh, dia masih ingin kamu yang apa
adanya. Sekarang, beristirahatlah. Tersenyumlah sebelum tidur agar mimpimu
indah. Allah menyaksikanmu. Jadi, jangan lupa berdoa.”, aku selalu berusaha
menampakkan senyumanku di hadapannya. Dia membutuhkan senyum orang-orang yang
di dekatnya. Karena aku tahu dia rapuh. Aku pun selalu ingin lekukan itu juga
tampak di wajahnya.
“Ah,
kamu bisa saja. Hati-hati jalan pulang. Allah juga menyaksikanmu.”, ia
membalasku dengan senyuman khas yang membuatku akan selalu mengingatnya.
“Ya sudah,
saya pulang dulu. Assalamu’alaikum..”
Dia
punya banyak bahagia yang masih mendekam dalam hatinya. Aku ingin mengeluarkan
semua itu. Karena dengan senyum yang ia tampakkan, aku bahagia.
~{0}~
“Assalamu’alaikum,
Bu. Azhar pulang”, aku mengetuk pintu rumahku.
“Wa’alaikumussalam,
Nak. Ayo masuk, Nak. Ibu sudah siapkan sayur sop kesukaanmu”, senyumnya seakan
memintaku untuk duduk diam di kursi yang ada di sekitar meja makan.
“Wahh....
Pas banget. Kebetulan saya sedang suka sama sayur sop, apalagi ini buatan ibu. Pasti
rasanya enak dan saya sudah merindukannya sejak lama”
“Ah,
bisa saja kamu, nak. Oh iya, bagaimana hubunganmu dengan dia?”, Ibu menunjukkan
keseriusannya. Siapa yang ibu maksud?
“Dia
siapa ya, Bu?”, aku mengerutkan kening yang sedikit bermandikan keringat. Dalam
otakku, seribu tanda tanya menggantung menanti jawaban.
“Sudahlah,
jangan mencoba untuk berbohong pada ibu. Nak, kau sedang jatuh cinta, bukan?”,
tangannya masih memegang pisau yang baru saja beliau gunakan untuk mengupas
kulit kentang.
Mengapa
tiba-tiba beliau bertanya seperti itu? Memang benar, akhir-akhir ini senyum
gadis itu selalu terpampang di depan wajahku. Tetapi, ibu tahu dari mana?
Sedangkan aku saja belum menyimpulkan sendiri tentang perasaanku pada gadis
itu.
“Ah,
ibu ada-ada saja. Dia kan sahabatku, Bu. Mana mungkin saya jatuh cinta padanya?
Lagipula, saya sudah berjanji untuk tidak menyakitinya. Dia itu sudah punya
pujaan hati. Dan yang jelas, itu bukan saya”, aku beruntung masih dapat
mengelak dari ibu. Tetapi, aku benar-benar menyesal telah membohonginya.
“Ya
sudahlah. Tak apa kalau kamu tidak ingin jujur pada ibumu, Nak. Sesungguhnya,
ibumu adalah orang yang paling tahu segala hal tentang dirimu. Jadi, jangan
coba-coba berbohong pada ibu”, senyumnya menghujam batinku. Matanya seolah
membunuhku. Ia sangat yakin kalau aku sedang berbohong padanya
Maaf
ibu, aku bukan ingin mencoba membohongimu. Ini bukan waktu yang tepat bagiku.
Aku masih ingin merahasiakannya. Aku masih tidak tega apabila ibu sedih ketika
mendengar ini, karena aku tahu bahwa seorang ibu dapat merasakan sakit hati
yang dirasakan oleh anaknya. Ibu, izinkan aku menyembunyikannya sebentar saja
dan aku janji, aku akan beritahu ibu kelak.
~{0}~
Dering
handphone-ku berbunyi. Seseorang meneleponku. Tertera nama yang sangat
familiar di layar. Zaynal, sahabat karibku yang sedang merantau di ibukota.
Sosok yang mengajariku banyak hal. Dia sudah lama tidak pulang ke kampung
halamannya. Hari ini, dia akan kembali ke sini.
“Halo.
Assalamu’alaikum, Har”, Zaynal memulai perbincangan jarak jauh ini.
“Wa’alaikumussalam,
Nal. Kamu jadi pulang, bukan? Jangan coba-coba lupa pada janjimu kemarin. 14 Mei,
di tanggal itu kau akan pulang. Lagipula, seseorang sedang menantimu di sini.
Jadi, jangan kecewakan dia, ya?”.
“Iya
iya. Kamu jangan khawatir begitu. Saya akan menepati janji. Oh iya, siapa yang
kamu maksud?”
“Nanti
kamu tahu sendiri. Kamu mau saya jemput jam berapa? Mumpung saya sedang tidak
sibuk dan saya juga sudah menantikan pertemuan kita”
“Ah,
bisa saja kamu. Oke, jemput saya di stasiun jam 09.00, ya? Saya akan kabari
lagi nanti. Wassalamu’alaikum”
“Oke,
siap, pak bos! Wa’alaikumussalam. Hati-hati”
Handphone
ini kumatikan. Bicara tentang Zaynal, dia dulunya siswa terbaik di SMP-ku.
Nilainya begitu memuaskan. Terlebih lagi, dirinya sangat bertanggung jawab. Ia
sangat risih ketika aku ataupun temannya melakukan sesuatu seenaknya. Dia
bahkan pernah memarahiku berjam-jam karena kelalaianku. Dia juga pernah
berselisih paham denganku hanya karena seekor ulat. Sungguh, pengalaman yang
tak bisa kulupakan.
Namun, ada satu hal yang aku benci darinya. Dia
terlalu mudah untuk mencintai orang lain. Hal ini yang membuatku khawatir akan
kesetiaannya pada Dilla. Bagaimanapun juga, aku bertanggung jawab atas
kebahagiaan mereka dan aku enggan melihat mereka berpisah lebih dini hanya
karena keraguan yang menyelimuti mereka. Apalagi, jarak telah memisahkan raga
mereka cukup lama. Aku selalu berkata pada Dilla bahwa jarak yang akan
menguatkan mereka. Aku juga selalu berkata padanya bahwa dia akan bahagia,
kapanpun waktunya.
Jam
tanganku telah menunjukkan pukul 08.00. Itu artinya, aku harus segera bersiap
untuk menjemput Zaynal. Segera kupakai celana panjang dan kemeja yang belum
sempat aku seterika. Serta sepatu dengan sedikit sobekan kecil di bagian depan
dan bagian dalam. Aku memang sedikit tak peduli tentang penampilanku. Bagiku,
penampilan tetap saja tidak dapat merubah nasib. Don’t judge a book by its
cover. Lagipula, dengan penampilan seperti ini pun, aku masih terlihat tampan.
Sombong sedikit masih bisa dimaafkan, ya?.
Aku
langsung menemui ibu. “Bu, saya pergi sebentar. Saya hendak menjemput Zaynal di
stasiun. Dia datang hari ini hendak menemui saya dan Dilla. Maklum lah, bu.
Kami sudah lama tidak bertemu.”
“Oh, ya
sudah. Jangan lupa membawa bingkisan pada mereka. Ini kan kesempatan yang
sangat jarang. Dan segera kau mengatakan perasaanmu ke Dilla. Jangan
ditunda-tunda.”
“Ih, ada
apa sih, bu? Kenapa ibu suka sekali membahas Dilla? Dia itu hanya sahabatku,
bu. Tolong ibu jangan melebih-lebihkan.”
“Haha, terserah
kamu. Ya sudah, cepat! Nanti terlambat kamu jemput Zaynal.” Ibu tertawa kecil
lalu memposisikan matanya ke arahku.
“Ya
sudah, saya berangkat sekarang, bu. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumussalam,
nak. Hati-hati”
Lagi-lagi
ibu membahas tentang Dilla. Mengapa harus dia? Tapi, benar juga ucapannya.
Sebaiknya aku cepat-cepat mengutarakan perasaanku pada Dilla. Tunggu, perasaan
apa? Apakah aku mencintainya? Apakah aku terlambat menyadari hadirnya rasa ini?
Entahlah. Mau cinta atau tidak, aku harus tetap membahagiakannya. Itu sudah
menjadi tanggung jawabku. Aku juga sudah berjanji padanya. Sebaiknya aku fokus
pada janjiku padanya terlebih dahulu. Lagipula, aku tidak begitu yakin tentang
perasaan yang kusimpan untuknya.
Tak habis pikir memikirkan soal itu. Membingungkan,
semuanya berubah menjadi sesuatu yang membingungkan. Perasaan ini dapat dengan
mudah menaik turunkan emosiku. Jika benar, mengapa harus aku yang merasakan
ini? Ini benar-benar di luar dugaanku.
Aku mengeluarkan handphone dari saku
celanaku. Aku belum mengabari Zaynal soal keberangkatanku. Aku harus
mengabarinya agar tak terjadi hal yang tidak-tidak. Aku putuskan hanya
mengirimnya sebuah pesan singkat dengan harapan dia membacanya.
Aku kembali melanjutkan perjalananku. Ditemani
cahaya matahari yang mulai naik dari ufuk timur. Tidak ketinggalan, suara
kicauan burung menambah kehangatan pagi. Terdengar pula suara anak-anak desa
sedang bernyanyi dan bergembira. Mereka selalu saja punya cara untuk bahagia.
Mereka menemukan kebahagiaan itu dengan cara yang sederhana. Tidak muluk-muluk,
dan cukup hanya dengan bermain, menari, dan tertawa bersama.
Setibanya di stasiun, aku duduk di kursi tunggu.
Kulihat kembali handphone-ku yang aku letakkan di saku celana. Aku
berniat menghubungi Zaynal, bahwa aku telah sampai di stasiun sambil berharap
tak terjadi apa-apa padanya. Karena pesan singkatku sedari tadi juga belum
dibalas.
“Aduh, bagaimana ini? Belum diangkat juga.”, gumamku
sambil mondar mandir kesana kemari menanti kabar dari Zaynal. Aku coba menghubungi
dia lagi.
“Iya, halo. Assalamu’alaikum, ris. Maaf baru buka
HP. Barusan ketiduran”, suaranya terdengar berat. Aku semakin yakin kalau dia
memang baru saja tertidur.
“Wa’alaikumussalam. Owalah ketiduran
ternyata. Saya kira kamu kenapa-kenapa. Sampai mana? Berapa menit lagi
kira-kira keretamu sampai di sini?”
“Di tiketnya sih sekitar jam 09.18. Ya, paling tidak
lima menit lagi. Kamu tunggu saja di sana. Oh iya, Dilla tahu tidak kalau aku
hari ini pulang?”
“Kalau soal itu, saya belum kasih tahu.
Hitung-hitung kejutan saja. Dia berharap sekali kamu bisa pulang ke sini.”
“Jadi, kamu belum kasih tahu dia? Ya sudahlah, tak
apa. Ceritanya nanti saja, ya? Pulsaku tinggal sedikit. Wassalamu’alaikum..”
“Haha.. Ada-ada saja. Lha wong mau pulang kok
tidak menyiapkan pulsa dulu. Ya sudah, wa’alaikumussalam..”
~{0}~
“Jadi begini, Har. Saya itu sudah punya kekasih
lagi. Saya itu sudah tidak tahan ingin memiliki dia. Maaf kalau saya baru
bilang sekarang. Ingat, ya, tadi kamu sudah berjanji untuk jaga rahasia saya.
Lagipula, aku lebih berhak memberitahu Dilla soal ini.”, aku terkejut mendengar
perkataannya. Mataku terbelalak. Terbayang betapa sedihnya kalau Dilla sampai
tahu soal ini. Dalam hati, aku seperti tidak bisa memaafkan Zaynal. Tetapi, di
satu sisi pula, aku merasa senang mendengar kabar darinya. Ada apa denganku?
Apakah ini perasaan yang sering ibu singgung ketika membicarakan Dilla?
Arrgghhh... Ini sungguh aneh.
“Kenapa kamu melakukan hal itu? Bukankah kamu sudah
berjanji pada Dilla untuk selalu setia padanya? Saya masih belum siap untuk
melihatnya menangis, Nal. Baiklah, saya tidak akan memberitahu rahasiamu ke Dilla.
Tapi, kau harus bertanggung jawab atas semua kekecewaannya setelah kau beritahu
soal ini. Saya pergi dulu”
Aku berlalu dari Zaynal. Dia benar-benar gila. Dia
sama sekali tak memikirkan gadis itu. Sekarang, apa yang lebih buruk dari air
matanya?
Aku kecewa
padamu, Nal. Aku kira kau sosok yang pas untuk membahagiakannya. Tetapi,
ternyata.. Aku benci caramu membuatnya bersedih. Kau bukan pria sejati. Kau
dengan tega menyakiti gadis yang benar-benar mencintaimu. Kau membuatnya
mengeluarkan air mata.
“Har, tunggu! Kau tak lupa pada janji kalau kamu
akan menjemput saya, bukan? Maafkan saya yang telah membuatmu kecewa. Saya
janji akan bertanggung jawab atas kekecewaan Dilla. Saya akan buat dia
tersenyum lagi. Tolong bantu saya untuk menemuinya sekarang. Ini waktu yang
tepat untuk menjelaskan semuanya. Tolong saya, Har”, matanya berkaca-kaca,
bersiap mengeluarkan tetesannya. Wajahnya yang dipenuhi rasa bersalah itu
menunduk ke lantai. Air matanya pun kini telah jatuh dan membekas di pipinya.
Aku menjulurkan tanganku ke hadapannya. Hingga ia
menggerakkan kepalanya ke atas. Senyumnya kembali mengembang. Perlahan, dia kembali
mendapatkan kepercayaanku yang baru saja hilang ditelan kekecewaan yang aku
alami.
“Bangunlah... Walaupun saya kecewa. Saya akan tetap menghormati
air matamu yang telah terjatuh. Karena saya sadar, saya itu masih sahabatmu
yang bertanggung jawab atas kebahagiaanmu juga. Kamu masih punya kesempatan,
Nal. Bayarlah dengan kesungguhan hati”
“Terima kasih, Har. Saya beruntung bisa bersahabat dengan
sosok pemaaf sepertimu”, ia membangkitkan senyumannya. Dengan cepat, ia lalu
memeluk erat tubuhku. Tetapi, raga ini menolak. Bagaimanapun juga raga ini
adalah saksi bisu kekecewaan yang hatiku rasakan. Rasa kecewa ini masih belum
beranjak.
“Ya sudah, kita ke rumah Dilla sekarang. Ingat!
Jangan buat dia kecewa, ya? Saya pegang omongan kamu, Nal”
~{0}~
“Assalamu’alaikum....”, aku mengetuk pintu rumahnya.
Seseorang terlihat berjalan dari dalam rumah. Dibukalah pintu rumahnya yang
sudah cukup termakan usia.
“Wa’alaikumussalam... Eh, kamu ternyata. Ayo masuk”,
senyumnya yang manis seakan memintaku untuk ikut masuk bersamanya. Dilla, ia tampak
cantik. Cantik sekali. Aku tak pernah melihatnya sampai seperti ini. Apa yang
membuat mata ini betah memandangnya? Pipinya yang agak tembem semakin
meyakinkan pandanganku. Ahh tidak tidak! Aku tidak boleh jatuh cinta padanya.
“Emm... Sebentar. Kamu melupakannya. Semalam kan
saya bilang kalau ada seseorang yang ingin menemuimu. Dan dia sudah berada di
sini. Apa kamu tidak merasakan kehadirannya?”, lisanku menyanggah pandanganku
tadi. Ia rupanya sepaham dengan otakku yang tak ingin mataku terlalu lama
memujinya.
“Oh, iya. Saya lupa. Sebenarnya siapa dia? Saya
penasaran”
“Dia itu seseorang yang telah lama kamu harapkan.
Dia kembali dengan banyak cerita yang sangat ingin disampaikannya kepadamu. Dia
lah orang yang kamu cintai. Zaynal pulang, Dil”, senyuman manisnya semakin
menjadi. Ia tampak bahagia. Sudah lama sekali aku tak melihatnya sebahagia ini.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu bahwa sebenarnya Zaynal
pulang membawa kabar buruk yang akan ditujukan pada Dilla. Aku harus bersiap
melihatnya menangis lagi, lagi dan lagi. Bahkan sekedar untuk bersiap,
membayangkannya saja sudah tersiksa. Sebagai sahabat, apakah kegagalan itu kembali
menghinggap di diriku? Apakah aku akan gagal lagi mempersatukan mereka,
membahagiakan mereka? Sungguh, aku tak akan dapat bangun dari sebuah kegagalan.
Kebahagiaan di sebuah hubungan
yang kita jalani harus dapat dirasakan oleh setiap pelaku hubungan tersebut.
Canda, tawa dan senda gurau sudah seharusnya menemani hari-hari kita. Kita tak
perlu mewah untuk mewujudkan sebuah kebahagiaan itu. Kita hanya butuh sebuah
kepercayaan dan kesetiaan yang tertanam di hati masing-masing. Serta
membutuhkan komitmen untuk saling membahagiakan satu sama lain agar
persahabatan kita terasa sempurna.
~{0}~
“Har, saya sudah berterus terang padanya. Sekarang,
hanya kamu yang berhak menghapus air matanya. Dan kau harus lakukan itu. Saya
tahu ketulusan cintamu padanya. Kamu sama sekali tak ingin melihat dirinya jauh
dari kebahagiaan, bukan? Pergilah! Dia membutuhkanmu”, Zaynal membawaku ke Dilla.
Dia mempersilakanku masuk menemani Dilla. Aku melihat air matanya mengalir deras.
Batinku sangat tersiksa melihat hal itu. Teringin sekali aku menghapus air
matanya dan membuat lekukan itu kembali tersungging di antara kedua pipinya
yang tembem.
“Zaynal, apa yang kamu lakukan pada Dilla? Lalu
mengapa kau mempersilakan saya untuk menghapus air matanya.”
“Dia membutuhkan seseorang yang benar-benar tulus
mencintai dirinya. Dan sosok itu adalah Azhar. Iya itu kamu. Kamu punya
kesempatan untuk selalu membuatnya tersenyum. Jadi, berbahagialah dengannya”,
Zaynal menepuk pundakku. Ia pun tersenyum yang menandakan ia telah merelakan
semuanya padaku. Senyum itu juga tanda bahwa ia telah menyerahkan
kepercayaannya padaku.
“Terima kasih, Nal.”, kali ini ragaku sangat ingin
memeluknya. Kekecewaan yang sempat aku rasakan tadi seakan menghilang begitu
saja. Ya Allah, terima kasih. Kau masih menginginkan persahabatan kami tetap
hidup.
“Sama-sama. Sudah saya bilang. Saya akan menepati
janji itu. Saya akan membahagiakannya. Dan saya sudah lakukan semua itu. Dia
bahagia bersamamu. Sekarang, kau boleh panggil saya lelaki.”
“Haha... Masih bisa sombong juga ternyata. Saya juga
janji akan membahagiakan Dilla. Terima kasih sudah mempermudah jalan dalam
meraih tujuanku itu.”
Aku bergegas menemui Dilla. Mengutarakan semua yang
ada di hatiku. Kuhembuskan nafas cinta di telinga kanannya. Kubisikkan kata
sahabat di telinga kirinya. Bagaimanapun, persahabatan juga tetap harus dijaga.
Komitmenku padanya adalah sebagai seorang sahabat. Akhirnya, aku dapat memulai
kebahagiaan bersamanya.
I love you, always. I will never ask for more than
your smile. Because the time when I felt happy is the time when I saw your
smile. Be a smiling one, please...
Pituruh, 2 Juni 2017. 16.41