Laman

Kamis, 14 April 2022

Kelabu

 “Memangnya kenapa? Saya hidup untuk diri saya sendiri, Tuhan, dan keluarga, kok. Punya hak apa kau bang?” Siti membela. Sementara itu, kakaknya, Tejo, tampak pasrah melihat kelakar adiknya.

“Baik, jika itu maumu. Aku hanya mengingatkan, aku hanya khawatir akan keselamatan dirimu”.

Ketengan masih enggan pergi, membuka kesempatan emosi untuk menguasai hati.

“Kalau abang ingin kita, sebagai rakyat, ingin bahagia. Maka suatu keputusanku, entah suatu kesiasiaan. Terutama keluarga kita, bang. Ini saat dan waktu saya. Kalau saja abang, awas saja!”

Tejo, baru saja ia simpan massa hari itu, disajikan pada masalah yang datang dari adiknya. Siti, seorang yang dianggap keras kepala oleh abangnya, justru adalah salah satu penggerak aktivitas massa tersebut.

Kalau saja abang bukan aparat, aku hanya rindu padamu, bang. Aku putuskan ini, agar kita tak lagi berseteru. Janganlah munafik, bang. Kau tidak boleh mengizinkan hanya di negaramu saja.

Pukul sepuluh, lima belas menit, keadaan kembali panas. Tejo dipanggil kembali untuk memulai wilayah penting di pemerintahan tempat demo.

“Halo bang. Sekali lagi, aku tak mau berhenti. Aku akan lawan terus, demi keluargaku”

Tejo hanya diam, ingin menangis. Ini bukan pertama kali dia bertemu dengan adiknya dalam suatu keadaan yang tidak diinginkan. “Ingat, bang. Kalau sampai, negara sembuh kami, keluarga kami, kami akan lebih merah lagi.”

“Kenapa abang diam saja? Jawab bang! Lihat keluarga kita, dan abang rela melakukan ini di atas dasar nasionalis. Mana rasa pedulimu?”

“Mundur! Ini tugas negara! Mundur cepat!”

Para menembakkan peluru peringatan. Namun, Siti tetap pada posisinya, meneriaki abangnya dengan penuh amarah.

“Bang, mbak sedang hamil, abang malah di sini. Kakak selalu merindu agar kau pegang perutnya. Mana kewajibanmu? Mana pedulimu, bang? Maju sini ayo! Aku rela dianggap pemberontak negara, apalagi melawanmu saja.”

“Diam kamu! Tahu apa kamu soal negara? Mundur!”

Akhirnya Tejo sudah tak mampu lagi menahan emosinya, di satu sisi dia membenarkan apa yang dikatakan adiknya, dia sangat rindu pada istrinya.

Demo mereda, massa yang kecewa memilih pulang untuk recovery , agar kembali fit untuk demo selanjutnya

“Suamimu itu lho, mbak. Kemana aja sih dia? Ga peduli banget sama keadaan bayi di perut ini”

“Dia lagi simpan, Ti. mbak di sini baik-baik saja.”

“Tapi, mbak. Di mana-mana suami lah yang bertanggung jawab penuh mulai dari hamil sampai melahirkan? Lah ini, pulang, berhenti, tak pernah pernah. Apakah kepedulian nasionalis bisa membayar semua ini?”

“Sudahlah, Ti. Kamu itu lho, dia kan abangmu, dia kan aparat, jadilah berat, buat negara.”Hmm, negara terus, keluarganya sendiri? Entah lah, lebih baik saya istirahat mbak.

Demonstrasi gelombang ketiga berlangsung tiga hari kemudian. Terjadi bakar-bakaran di mana-mana. Siti terus mencari keberadaan abangnya, karena kakak iparnya sebentar lagi akan melahirkan, dia benar-benar tidak bisa memaafkan kakaknya, yang seolah tak peduli dengan kondisi istrinya sendiri.

“Dor!!” Sebuah peluru tajam menancap di dada Siti, tersisalah sedikit hidup dalam hidupnya, lalu ia meninggal. Tersimpanlah rasa dendam sebelum terbalaskan.

Tejo, ia juga sedang mencari cara agar ia bisa menghubungi istrinya. Di samping itu, dia juga masih harus berada dalam situasi dan kondisi di luar sana. Tejo menyadari ia sedang tidak baik-baik saja. Baru kali ini, Tejo menangis, seolah menyesal bahwa dia tidak mendengarkan adiknya. Tejo tak punya waktu lama, dia juga harus tahu kabar kelahiran anaknya, dia tidak peduli lagi berkostum aparat, dia hanya ingin melihat kelahiran anaknya, di saat dia pasti kehilangan adiknya.

Maafkan aku, aku tak becus, aku gagal menjaga keluargaku, bahkan adikku sendiri. Kumohon Tuhan, segala puji bagi-Mu. Izinkanlah aku melihat anakku.

Tejo benar-benar dirundung duka, anaknya selamat, namun tidak dengan istrinya. Istrinya dinyatakan meninggal sewaktu-waktu melahirkan. Hatinya terus mengerang sendiri, kali ini dia benar-benar, teman dalam lapas sejatinya teman, melainkan karena nasib yang sama.