Di
Balik Sebuah Topeng
Pagi mengutus mentari dan mencoba
membuatku tersenyum. Ia sungguh mengharapkan lekuk indah tersungging di
bibirku. Aku harap, pagi akan terus menyapa bersama kicau burung-burung yang
beralun menciptakan tangga-tangga nada penyejuk hati.
Seorang gadis berjalan menjauh dari
pandangan. Punggungnya tersamar kabut pagi setengah dingin. Aku mengenalnya,
bahkan kerap melihat. Langkah kakinya membuatku semakin mengenal sosok itu.
Hati memaksa raga untuk mengejarnya. Pikiranku tak sepaham. Aku putuskan
berlari mengejar. Sementara, gadis itu mulai tak terlihat lagi. Aku tetap
mengejarnya meski waktu menahan diriku untuk berjumpa dengannya.
~0~
“Iya? Ada apa?”, Rani memalingkan wajahnya ke
arahku. Dibukanya sebuah novel berjudul Sang Pemimpi karya keren dari seorang
penulis ternama, Andrea Hirata. Perangkat headset terpasang di telinganya. Sepertinya, dia hanya
mendengarkan musik dari satu sisi, mungkin sisi satunya rusak.
“Nggak, kok. Nggak apa-apa. Kamu
serius banget baca novelnya,” ucapku. Aku melamunkan sesuatu. Dalam otakku
tertulis untaian kata,
“Kapan mataku bersemangat menyambut dan
membaca keindahan sastra? Kapan jemariku kembali menitikkan tinta, menulis
beribu harapan yang hanya aku simpan dalam kalbuku? Aku telah kehilangan
motivasi dalam mewujudkan berjuta cita dan ambisi. Aku telah lenyap dari
keelokan pelangi.”
“Iya, nih. Seru banget. Kamu mau baca?” Rani
menyodorkan novel yang cukup tebal itu kepadaku.
“Lain kali aja, deh. Aku nggak enak sama
kamu. Novelnya kan belum kamu baca sampai selesai. Dibaca dulu dong
sampai selesai, baru kasih pinjem aku kalo kamu udah selesai bacanya. Oh, iya,
aku tinggal sebentar ya? Ada sedikit urusan”.
Itulah cara topeng ini bercakap. Itulah cara
topengku mengelabui semua orang. Topeng ini berhasil memalsukan bahagiaku. Ia
pandai menghapus air mataku. Aku merasa amat beruntung, namun juga gundah.
Suatu hari, topeng ini akan aku lepas
pada waktunya.
“Oh, iya iya, hati-hati, Zayn...”, senyumnya
mengunci kedua bibirku. Ia seolah menghentikan nafasku sesaat. Aku terpatung
memandangnya. Mataku mengklaim dirinya gadis yang polos, cantik, rupawan,
indah, dan penuh dengan pesona. Ahh... Tidak! Aku hampir kehilangan sadarku.
Aku sungguh tak punya alasan untuk berhenti memujanya.
“Zayn, kenapa? Ada yang salah, ya?”, wajah
Rani melukiskan kepolosan dirinya. Bahkan mungkin, ia tak mengerti apa itu fashionable,
atau yang lain? Perfeksionis mungkin? Yang ia tahu adalah bagaimana menjaga
hatinya, bukan penampilannya. Lebih baik begitu, daripada ia terjerumus dalam
jurang kebobrokan moral anak-anak zaman sekarang.
“Iya,... Itu anu... Emm... Kamu cantik!”
ahh... lagi-lagi aku salah ngomong. Mengapa aku mengatakannya? Betapa
gegabahnya diri ini.
“Emm.. Makasih, Zayn”, ia tersenyum.
“Sama-sama, tembem.”
“Ih, apaan sih? Nggak lucu tau...”
“Kamu yakin? Tapi, kamu beneran tembem
lho...”
“Terserah kamu mau ngatain aku tembem, gembil,
jelek, atau apa. Yang penting aku tetap Rani. Bukan siapa-siapa”.
“Iya, deh. Aku nurut”, karena tak tahan, aku
pun mencubit pipinya dan berlari secepat mungkin.
“Zayn, awas kamu, ya?”, Rani pun menyusul.
Tetapi, aku sangat yakin kaki kecilnya tak akan bisa mendahului kecepatan
kakiku.
“Ayo, dong. Kejar aku! Buktiin kalo kamu itu
nggak tembem”,. Membuat seseorang tertawa adalah kewajiban bagiku. Apalagi
orang itu adalah sahabatku sendiri. Kurang lengkap rasanya apabila dalam suatu
hubungan tidak ada saling ledek, saling berbagi tawa dan saling bercanda selama
itu tak menyakiti salah satu pihak.
“Oke, Zayn. Siapa takut!”, Rani mempercepat
larinya. Ia seakan tertantang oleh ucapanku.
“Sini dong, Ran”, semakin ku
percepat langkahku ini. Aku ingin tahu seberapa ia tertantang oleh ucapanku.
Aku tidak yakin.
“Udah, ah. Aku capek”.
“Ah,
nggak asyik. Gitu doang kok capek?”.
“Iya oke. Aku tembem, jelek, item. Puas
kamu?”.
“Maaf, Ran. Kan cuma bercanda. Kamu kaya
nggak ngerti aku aja.”
~0~
Aku kembali asyik dalam kegemaranku, menulis.
Aku gemar menulis apa saja yang ada dalam hati dan pikiranku. Dan saat ini,
Rani menguasai semuanya, bahkan tanganku dipaksa untuk mengabdikan nama Rani di
secarik kertas yang ada di atas mejaku.
Di luar, terdengar suara-suara polos
terngiang di mulut bocah-bocah desa. Mereka sungguh bahagia. Memang mereka
begitu, karena mereka belum merasakan rumitnya cinta. Yang ada dalam pikirannya
mungkin hanya bermain, makan, tidur dan lakukan apa yang ingin mereka lakukan.
Sangat simpel, tak seperti kasus kopi sianida Jessica Kumala Wongso atau kasus
penyanderaan WNI di Filipina oleh kelompok Abu Sayyaf yang sangat marak
akhir-akhir ini.
“Zayn, ada yang nyariin kamu, tuh..”, panggil
seorang gadis dengan nafas yang terengah-engah.
“Emm... Siapa dia?”, aku menoleh ke kanan,
tepatnya ke arah gadis itu.
“Rani. Dia udah nunggu kamu dari tadi.
Katanya sih, kamu mau belajar bareng dia.”
Aku tersentak dari tempat dudukku. Getaran
ini kembali terasa. Getaran yang mengguncang batinku. Aku terlupa akan janjiku
sendiri. Aku terlalu asyik memikirkan sesosok bidadari yang menguasai seluruh
penjuru hati.
Aku bergegas menemui Rani. Aku harus tepati
janjiku. Apalagi janji untuk menemui dirinya. Aku tak boleh terlambat. Demi
cinta, aku akan berlari. Lihatlah diri ini, aku tak sadar kalau melupakan
semuanya demi cinta. Cinta telah merasuki hidupku. Cinta memang egois.
“Zayn, dari mana aja kamu? Katanya kamu minta
ajarin aku”.
“Aku baru beli camilan buat makanan kita.
Emm.. By the way, aku nggak jadi minta ajarin kamu, deh. Maaf, aku
telat. Aku bikin kamu kecewa, ya?”
“Nggak, kok. Aku nggak marah. Kamu juga
sibuk, kan? Makanya kamu tunda janji kamu demi hobimu itu. Kalo kamu nggak
jadi, aku pulang aja, ya? Di rumahku masih banyak cucian yang belum aku cuci”,
aku berhasil menangkap gerakan matanya. Ia nampak gelisah. Raut wajahnya dapat
memberiku penjelasan. Ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.
“Emm... Ya udah, deh. Hati-hati sahabat.”
Aku kehilangan sosok Rani. Aku tak menjumpai
senyum bahagianya terpancar di bibirnya.
Aku juga tak menemukan kepolosan yang selama ini ia lukiskan melalui kelembutan
hatinya. Koneksi antara hati, pikiran, dan lisannya tak lagi terjalin
sebagaimana mestinya. Ini sungguh aneh. Kebohongan besar tersirat di bola
matanya. Begitu pun juga dengan diriku. Batinku amat yakin lisannya mengatakan
kalimat yang bukan dituturkan hatinya.
Dia
telah melangkah jauh meninggalkan raga ini. Dia juga memaksa mataku agar
berhenti menyaksikannya. Aku kehilangan dirinya di detik ini. Mentari pun ikut
larut dalam kesedihan. Bak diguyur paku-paku yang tajam, tertunduklah kepala
ini, merenung dalam kejahatan cinta.
Cinta kadang membuat hati yang merasakannya
terluka. Hatiku terjajah para pemanah api. Mereka mambuat lubang yang terbakar
di setiap sudut hati. Cinta ini sedang berjuang mendapatkannya, mendapatkan
pujaan dan pendamping setia dalam hidupnya.
Senja datang mengingatkanku akan dirinya. Aku
memandang jutaan bulir padi yang menggantung dan rumput-rumput yang berdansa
mengikuti irama angin. Sesekali mereka membuatku tersenyum. Tetapi, tetap saja
mereka tidak pernah mengerti akan cinta. Mereka tak akan pernah tahu apa isi
hatiku maupun hati setiap insan. Kini, aku hanya mengharapkan dia kembali
padaku.
Raniiiii........!!!
~0~
Aku harus tetap mencarinya. Tak peduli petaka
menghalangiku. Akan aku tunjukkan apa itu perjuangan. Akan aku ajarkan dia
bagaimana cara memperjuangkan cinta. Sungguh, hatiku memanggil namanya. Tetapi,
mengapa ia tak mengerti?.
Ku percepat langkahku. Ku abaikan rasa lelah ini
menikam seluruh tubuh. Karena aku yakin, semunya lenyap dalam sekejap ketika
aku melihatnya, meraih tangannya dan kembali memeluknya. Aku berjanji akan
membuat senyumnya muncul di setiap detik. Aku akan menangkapmu wahai pencuri
hatiku.
Cahaya datang menghampiri pandanganku. Gadis
itu mulai terlihat. Ia menyelinap di bawah cahaya rembulan. Aku merasakannya.
Cinta telah memberiku petunjuk. Semakin kudekatkan tubuh padanya. Kami saling
menatap satu sama lain. Entah apa yang ada dalam benaknya, yang jelas aku
senang kembali menatap matanya.
“Rani, lihat aku!”
Tiba-tiba ia berbalik arah tanpa alasan.
“Untuk apa kamu ke sini? Tolong, jangan buat aku menderita. Aku mohon.”
Isak tangis menyertai ucapannya. Teringin
sekali tanganku menghapus air matanya.
“Rani, kenapa sih? Udah dong, jangan
biarkan air mata melemahkan hatimu. Aku sungguh tak bisa melihatmu menangis.”
“Maaf, Zayn. Jika air mata ini dapat
membuatmu mengerti apa arti cinta, aku akan berhenti mengeluarkannya. Jika kamu
tahu apa arti wajahku saat ini, tatap aku. Aku enggan menggantungkan semua ini
terlalu lama. Aku ingin kamu mengerti semuanya,” guyuran air semakin deras
mengalir dari kedua matanya. Setiap kucurannya membuatku terpukul. Aku tak tahu
maksud dari semua yang ia katakan.
“Zayn, aku terlalu lama memakai topeng ini.
Dengannya, aku menipu semua orang, termasuk dirimu. Jadi, perkenankan aku
melepaskannya sekarang.”
“Aku mencintaimu sejak pertama kali ku
membuka mata untukmu. Aku sangat menyayangi dirimu. Tapi, kau tak pernah
mengerti perasaanku. Aku selalu ingin berubah menjadi lebih baik di matamu. Aku
juga ingin mengeluarkan semua kegundahan yang ada dalam diriku dengan
memelukmu. Kini, topeng yang menempel erat di rupaku telah menyelesaikan
tugasnya. Sudah saatnya aku mengubur dirinya dalam memoriku.”
Tubuhku terhempas ke bumi. Pernyataannya
sungguh menusuk hatiku. Aku tak menyangka, ia sudah mencintai diriku terlampau
dalam, bahkan sebelum aku mencintai dirinya.
“Maafkan diri ini, Rani. Maafkan diriku yang selalu menyakitimu.
Sebenarnya, aku pun juga memiliki rasa
yang sama. Niatku adalah membahagiakan bidadariku yang kini ada di depanku.
Maafkan diriku juga yang terlalu lama menipumu dengan topeng ini. Hati tak bisa
berkata lain. Aku mencintaimu, Rani!”.
Kulihat pancaran matanya berbinar. Kini
impian kami terwujud. Meski begitu, kami punya janji akan tetap
menjadi sahabat yang baik. Sahabat hati dalam satu cinta.
Hidup kami tak melulu soal cinta, soal perasaan, tetapi soal bagaimana kita
merubah semua itu menjadi sebuah hal yang mengasyikkan.
Kami sadar, memakai penutup wajah hanya akan
membuat mereka tertipu. Hanya akan membuat kami tak menyadari siapa kami. Kami
sungguh menyesal menutupi rupa kami dengan topeng itu. Kami kehilangan
identitas.
Kini, topeng itu pergi. Menghilang, mencari
empunya yang baru. Mereka sangat berdosa. Kami pun berdosa. Mengapa kami
memasang mereka terlalu lekat di wajah kami? Kami telah gegabah. Mengapa kami
memberi kesempatan pada mereka untuk membohongi orang lain? Kini, kami pastikan
topeng itu tak akan kembali pada kami, karena kami telah dilindungi sebuah
benteng yang kokoh bernama CINTA.
Pituruh,
3 September 2016. 20.09