Laman

Sabtu, 24 September 2016

Cerpen : "Di Balik Sebuah Topeng"

Di Balik Sebuah Topeng


            Pagi mengutus mentari dan mencoba membuatku tersenyum. Ia sungguh mengharapkan lekuk indah tersungging di bibirku. Aku harap, pagi akan terus menyapa bersama kicau burung-burung yang beralun menciptakan tangga-tangga nada penyejuk hati.
            Seorang gadis berjalan menjauh dari pandangan. Punggungnya tersamar kabut pagi setengah dingin. Aku mengenalnya, bahkan kerap melihat. Langkah kakinya membuatku semakin mengenal sosok itu. Hati memaksa raga untuk mengejarnya. Pikiranku tak sepaham. Aku putuskan berlari mengejar. Sementara, gadis itu mulai tak terlihat lagi. Aku tetap mengejarnya meski waktu menahan diriku untuk berjumpa dengannya.
~0~
“Iya? Ada apa?”, Rani memalingkan wajahnya ke arahku. Dibukanya sebuah novel berjudul Sang Pemimpi karya keren dari seorang penulis ternama, Andrea Hirata. Perangkat headset terpasang di telinganya. Sepertinya, dia hanya mendengarkan musik dari satu sisi, mungkin sisi satunya rusak.
            “Nggak, kok. Nggak apa-apa. Kamu serius banget baca novelnya,” ucapku. Aku melamunkan sesuatu. Dalam otakku tertulis untaian kata,
“Kapan mataku bersemangat menyambut dan membaca keindahan sastra? Kapan jemariku kembali menitikkan tinta, menulis beribu harapan yang hanya aku simpan dalam kalbuku? Aku telah kehilangan motivasi dalam mewujudkan berjuta cita dan ambisi. Aku telah lenyap dari keelokan pelangi.”
“Iya, nih. Seru banget. Kamu mau baca?” Rani menyodorkan novel yang cukup tebal itu kepadaku.
“Lain kali aja, deh. Aku nggak enak sama kamu. Novelnya kan belum kamu baca sampai selesai. Dibaca dulu dong sampai selesai, baru kasih pinjem aku kalo kamu udah selesai bacanya. Oh, iya, aku tinggal sebentar ya? Ada sedikit urusan”.
Itulah cara topeng ini bercakap. Itulah cara topengku mengelabui semua orang. Topeng ini berhasil memalsukan bahagiaku. Ia pandai menghapus air mataku. Aku merasa amat beruntung, namun juga gundah. Suatu hari, topeng ini akan aku lepas pada waktunya.
“Oh, iya iya, hati-hati, Zayn...”, senyumnya mengunci kedua bibirku. Ia seolah menghentikan nafasku sesaat. Aku terpatung memandangnya. Mataku mengklaim dirinya gadis yang polos, cantik, rupawan, indah, dan penuh dengan pesona. Ahh... Tidak! Aku hampir kehilangan sadarku. Aku sungguh tak punya alasan untuk berhenti memujanya.
“Zayn, kenapa? Ada yang salah, ya?”, wajah Rani melukiskan kepolosan dirinya. Bahkan mungkin, ia tak mengerti apa itu fashionable, atau yang lain? Perfeksionis mungkin? Yang ia tahu adalah bagaimana menjaga hatinya, bukan penampilannya. Lebih baik begitu, daripada ia terjerumus dalam jurang kebobrokan moral anak-anak zaman sekarang.
“Iya,... Itu anu... Emm... Kamu cantik!” ahh... lagi-lagi aku salah ngomong. Mengapa aku mengatakannya? Betapa gegabahnya diri ini.
“Emm.. Makasih, Zayn”, ia tersenyum.
“Sama-sama, tembem.”
“Ih, apaan sih? Nggak lucu tau...”
“Kamu yakin? Tapi, kamu beneran tembem lho...”
“Terserah kamu mau ngatain aku tembem, gembil, jelek, atau apa. Yang penting aku tetap Rani. Bukan siapa-siapa”.
“Iya, deh. Aku nurut”, karena tak tahan, aku pun mencubit pipinya dan berlari secepat mungkin.
“Zayn, awas kamu, ya?”, Rani pun menyusul. Tetapi, aku sangat yakin kaki kecilnya tak akan bisa mendahului kecepatan kakiku.
“Ayo, dong. Kejar aku! Buktiin kalo kamu itu nggak tembem”,. Membuat seseorang tertawa adalah kewajiban bagiku. Apalagi orang itu adalah sahabatku sendiri. Kurang lengkap rasanya apabila dalam suatu hubungan tidak ada saling ledek, saling berbagi tawa dan saling bercanda selama itu tak menyakiti salah satu pihak.
“Oke, Zayn. Siapa takut!”, Rani mempercepat larinya. Ia seakan tertantang oleh ucapanku.
        “Sini dong, Ran”, semakin ku percepat langkahku ini. Aku ingin tahu seberapa ia tertantang oleh ucapanku. Aku tidak yakin.
         “Udah, ah. Aku capek”.
         “Ah, nggak asyik. Gitu doang kok capek?”.  
         “Iya oke. Aku tembem, jelek, item. Puas kamu?”.
“Maaf, Ran. Kan cuma bercanda. Kamu kaya nggak ngerti aku aja.”
~0~
Aku kembali asyik dalam kegemaranku, menulis. Aku gemar menulis apa saja yang ada dalam hati dan pikiranku. Dan saat ini, Rani menguasai semuanya, bahkan tanganku dipaksa untuk mengabdikan nama Rani di secarik kertas yang ada di atas mejaku.
Di luar, terdengar suara-suara polos terngiang di mulut bocah-bocah desa. Mereka sungguh bahagia. Memang mereka begitu, karena mereka belum merasakan rumitnya cinta. Yang ada dalam pikirannya mungkin hanya bermain, makan, tidur dan lakukan apa yang ingin mereka lakukan. Sangat simpel, tak seperti kasus kopi sianida Jessica Kumala Wongso atau kasus penyanderaan WNI di Filipina oleh kelompok Abu Sayyaf yang sangat marak akhir-akhir ini.
“Zayn, ada yang nyariin kamu, tuh..”, panggil seorang gadis dengan nafas yang terengah-engah.
“Emm... Siapa dia?”, aku menoleh ke kanan, tepatnya ke arah gadis itu.
“Rani. Dia udah nunggu kamu dari tadi. Katanya sih, kamu mau belajar bareng dia.”
Aku tersentak dari tempat dudukku. Getaran ini kembali terasa. Getaran yang mengguncang batinku. Aku terlupa akan janjiku sendiri. Aku terlalu asyik memikirkan sesosok bidadari yang menguasai seluruh penjuru hati.
Aku bergegas menemui Rani. Aku harus tepati janjiku. Apalagi janji untuk menemui dirinya. Aku tak boleh terlambat. Demi cinta, aku akan berlari. Lihatlah diri ini, aku tak sadar kalau melupakan semuanya demi cinta. Cinta telah merasuki hidupku. Cinta memang egois.
“Zayn, dari mana aja kamu? Katanya kamu minta ajarin aku”.
“Aku baru beli camilan buat makanan kita. Emm.. By the way, aku nggak jadi minta ajarin kamu, deh. Maaf, aku telat. Aku bikin kamu kecewa, ya?”
“Nggak, kok. Aku nggak marah. Kamu juga sibuk, kan? Makanya kamu tunda janji kamu demi hobimu itu. Kalo kamu nggak jadi, aku pulang aja, ya? Di rumahku masih banyak cucian yang belum aku cuci”, aku berhasil menangkap gerakan matanya. Ia nampak gelisah. Raut wajahnya dapat memberiku penjelasan. Ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.
“Emm... Ya udah, deh. Hati-hati sahabat.”
Aku kehilangan sosok Rani. Aku tak menjumpai senyum bahagianya terpancar di bibirnya. Aku juga tak menemukan kepolosan yang selama ini ia lukiskan melalui kelembutan hatinya. Koneksi antara hati, pikiran, dan lisannya tak lagi terjalin sebagaimana mestinya. Ini sungguh aneh. Kebohongan besar tersirat di bola matanya. Begitu pun juga dengan diriku. Batinku amat yakin lisannya mengatakan kalimat yang bukan dituturkan hatinya.
 Dia telah melangkah jauh meninggalkan raga ini. Dia juga memaksa mataku agar berhenti menyaksikannya. Aku kehilangan dirinya di detik ini. Mentari pun ikut larut dalam kesedihan. Bak diguyur paku-paku yang tajam, tertunduklah kepala ini, merenung dalam kejahatan cinta.
Cinta kadang membuat hati yang merasakannya terluka. Hatiku terjajah para pemanah api. Mereka mambuat lubang yang terbakar di setiap sudut hati. Cinta ini sedang berjuang mendapatkannya, mendapatkan pujaan dan pendamping setia dalam hidupnya.
Senja datang mengingatkanku akan dirinya. Aku memandang jutaan bulir padi yang menggantung dan rumput-rumput yang berdansa mengikuti irama angin. Sesekali mereka membuatku tersenyum. Tetapi, tetap saja mereka tidak pernah mengerti akan cinta. Mereka tak akan pernah tahu apa isi hatiku maupun hati setiap insan. Kini, aku hanya mengharapkan dia kembali padaku.
Raniiiii........!!!
~0~
Aku harus tetap mencarinya. Tak peduli petaka menghalangiku. Akan aku tunjukkan apa itu perjuangan. Akan aku ajarkan dia bagaimana cara memperjuangkan cinta. Sungguh, hatiku memanggil namanya. Tetapi, mengapa ia tak mengerti?.
Ku percepat langkahku. Ku abaikan rasa lelah ini menikam seluruh tubuh. Karena aku yakin, semunya lenyap dalam sekejap ketika aku melihatnya, meraih tangannya dan kembali memeluknya. Aku berjanji akan membuat senyumnya muncul di setiap detik. Aku akan menangkapmu wahai pencuri hatiku.
Cahaya datang menghampiri pandanganku. Gadis itu mulai terlihat. Ia menyelinap di bawah cahaya rembulan. Aku merasakannya. Cinta telah memberiku petunjuk. Semakin kudekatkan tubuh padanya. Kami saling menatap satu sama lain. Entah apa yang ada dalam benaknya, yang jelas aku senang kembali menatap matanya.
“Rani, lihat aku!”
Tiba-tiba ia berbalik arah tanpa alasan. “Untuk apa kamu ke sini? Tolong, jangan buat aku menderita. Aku mohon.”
Isak tangis menyertai ucapannya. Teringin sekali tanganku menghapus air matanya.
“Rani, kenapa sih? Udah dong, jangan biarkan air mata melemahkan hatimu. Aku sungguh tak bisa melihatmu menangis.”
“Maaf, Zayn. Jika air mata ini dapat membuatmu mengerti apa arti cinta, aku akan berhenti mengeluarkannya. Jika kamu tahu apa arti wajahku saat ini, tatap aku. Aku enggan menggantungkan semua ini terlalu lama. Aku ingin kamu mengerti semuanya,” guyuran air semakin deras mengalir dari kedua matanya. Setiap kucurannya membuatku terpukul. Aku tak tahu maksud dari semua yang ia katakan.
“Zayn, aku terlalu lama memakai topeng ini. Dengannya, aku menipu semua orang, termasuk dirimu. Jadi, perkenankan aku melepaskannya sekarang.”
“Aku mencintaimu sejak pertama kali ku membuka mata untukmu. Aku sangat menyayangi dirimu. Tapi, kau tak pernah mengerti perasaanku. Aku selalu ingin berubah menjadi lebih baik di matamu. Aku juga ingin mengeluarkan semua kegundahan yang ada dalam diriku dengan memelukmu. Kini, topeng yang menempel erat di rupaku telah menyelesaikan tugasnya. Sudah saatnya aku mengubur dirinya dalam memoriku.”
Tubuhku terhempas ke bumi. Pernyataannya sungguh menusuk hatiku. Aku tak menyangka, ia sudah mencintai diriku terlampau dalam, bahkan sebelum aku mencintai dirinya.
“Maafkan diri ini, Rani. Maafkan diriku yang selalu menyakitimu. Sebenarnya, aku pun juga memiliki rasa yang sama. Niatku adalah membahagiakan bidadariku yang kini ada di depanku. Maafkan diriku juga yang terlalu lama menipumu dengan topeng ini. Hati tak bisa berkata lain. Aku mencintaimu, Rani!”.
Kulihat pancaran matanya berbinar. Kini impian kami terwujud. Meski begitu, kami punya janji akan tetap menjadi sahabat yang baik. Sahabat hati dalam satu cinta. Hidup kami tak melulu soal cinta, soal perasaan, tetapi soal bagaimana kita merubah semua itu menjadi sebuah hal yang mengasyikkan.
Kami sadar, memakai penutup wajah hanya akan membuat mereka tertipu. Hanya akan membuat kami tak menyadari siapa kami. Kami sungguh menyesal menutupi rupa kami dengan topeng itu. Kami kehilangan identitas.
Kini, topeng itu pergi. Menghilang, mencari empunya yang baru. Mereka sangat berdosa. Kami pun berdosa. Mengapa kami memasang mereka terlalu lekat di wajah kami? Kami telah gegabah. Mengapa kami memberi kesempatan pada mereka untuk membohongi orang lain? Kini, kami pastikan topeng itu tak akan kembali pada kami, karena kami telah dilindungi sebuah benteng yang kokoh bernama CINTA.

Pituruh, 3 September 2016. 20.09
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar