Ibu dan Mimpi Yang Terkutuk
Komputer ini masih menyala, aku sendiri masih
disibukkan dengan berbagai macam deadline. Beberapa bulan terakhir ini, aku
memang menjadi mahasiswa magang di salah satu perusahaan IT terbesar negeri
ini. Aku diminta untuk menjadi editor di bidang perfilman. Sesuai dengan apa
yang aku cita-citakan sejak aku memutuskan untuk mengambil IT di UGM.
Sebuah telepon berdering, terbaca di sana nama
Raihan “Halo, San. Assalamu’alaikum...”
Dengan cepat, aku mengangkatnya, “Halo juga,
Raihan. Wa’alaikumussalam.... Ada apa, Han?”.
“Bagaimana kabarmu di sana? Apakah mimpimu kini
dapat melukiskan wajah bahagiamu saat ini?”.
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Aku
benar-benar merasakan kebahagiaan itu. Kini, hidupku tak seburuk yang aku kira
sebelumnya. Ini benar-benar sebuah keajaiban.”
“Oh, bagus dong. Semoga kau kerasan bekerja
sebagai seorang editor di sana. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk
kau, untuk persahabatan kita juga.”
“Yup, makasih ya, Han?. You’re my best
friend ever in my life.”
Telepon ini kumatikan. Aku termenung. Panggilan
Raihan mengingatkanku pada kisah 4 tahun silam, kisah yang mengubah semua jalan
hidupku, awal yang membuat aku menyadari bahwa tak selamanya masa depan harus
dipaksakan. Masa depan adalah misteri, hingga kita sampai pada titik itu.
~{0}~
“This is
our chance. I won’t let it go. We have to reach them,” ucapku sambil menenggak secangkir kopi panas
buatan ibuku. “Ya, kita tidak boleh melewatkannya. Mimpi dibuat untuk diraih.
Untuk apa beribu untaian tentang tujuan hidup yang hanya terpampang di kening
kita?Dreams are made by yourself, so, you must to achieve them,” ibuku
memang berpengalaman soal menasihati anak manusia. Apalagi topiknya itu tentang
masa depan. Jutaan kata telah ia keluarkan dari mulut pintarnya. So
excellent, isn’t it?.
“Wow,
bagaimana bisa paduan kata itu disatukan menjadi sebuah nasihat bijak? Ibumu
memang berbakat untuk jadi suksesor Mario Teguh,”Raihan mencoba mencairkan
suasana.
“Ah,... Kamu bisa saja,” sahut ibuku sambil
menyajikan dua porsi nasi goreng khasnya.
Namaku Hasan. Nama-nama khas orang Muslim.
Kenyataanya memang begitu. Cita-citaku menjurus ke arah agraris. Agrobisnis,
itulah tujuan hidupku. Kau tahu apa itu mimpi? Aku tidak butuh jawaban benar,
aku hanya butuh ucapan mereka yang benar-benar mengerti soal mimpi.
Langkah
kakiku menjelaskan semuanya. Dengan cepat, aku melahap tiap-tiap meter yang ada
di depanku. Aku hanya fokus pada satu arah, yaitu depan. Hanya ke depan mataku
memandang, bukan ke samping, apalagi ke belakang. Bagiku, belakang hanyalah
memori yang tak akan aku ulangi. Mungkin sesekali aku menengok ke arah itu,
ketika aku membutuhkan kegagalan demi beribu kesuksesan.
Kesuksesan adalah harga mati bagi setiap
manusia yang masih diberi kesempatan untuk bernafas. Pendapat itu juga berlaku
pada diriku. Bukan hanya diriku, kau juga berharap untuk mendapatkan kesuksesan
itu, bukan? I’m sure about that! Seperti yang aku katakan tadi,
kesuksesan itu adalah harga mati.
“Hai,
kawan. Apa kabar? Masih memikirkan mimpimu yang super itu ya?”,Raihan
menyapaku.
“Alhamdulillah,
baik. Untuk apa memikirkan impian itu terlalu lama, kawan? Waktu terus
berjalan, apakah kita gunakan waktu hanya untuk berpikir bagaimana cara untuk
meraihnya? It’s not correct, isn’t it? Jadi, jangan mikir melulu.
Otak juga butuh istirahat. Do you understand me? I hope that’s happened,”
mulutnya menganga, seperti terkagum mendengar pernyataan itu.
“Sudahlah,
berhenti memikirkan perkataanku tadi. Pikirkanlah dengan cara apa dirimu
berjuang, dengan cara apa dirimu dapat mewujudkan impian. Hei, bangunlah dari
tidurmu. Lakukanlah apa yang harus kau lakukan. Dream, believe, and make it
happened!”, sebuah lekuk indah
tersungging di bawah hidungnya. Wajahnya dapat memberiku sinyal tanda ia sudah
mengerti tentang apa yang kukatakan padanya.
“Sahabatku
ini memang hebat. Proud of you!Akhirnya,
aku menemukan sisi motivator dalam dirimu,” puji Raihan.
“Thanks,
aku akan selalu siap menjadi apa yang kau inginkan,” aku merangkul dan
mendekap tubuh Raihan. Ia pun membalasnya dengan agresif. Kami berdua saling
mendukung, saling menasihati, dan saling menyatukan tekad demi perwujudan mimpi
masing-masing.
~{0}~
I used to think that I could not go on and live
was nothing but an awful song. But, now I know the meaning of true love. I’m
leaning on the everlasting arms. If I can see it then I can do it. If I just
believe it, there’s nothing to it. I believe I can fly. I believe I can touch
the sky. I think about it every night and day. Spread my wings and fly away. I
believe I can soar. I see me running through that open door. I believe I can
fly, I believe I can fly, I believe I can fly.
I
Believe I Can Fly milik Robert S. Kelly itu mengalun indah di speaker Music Box
milikku. Setidaknya lagu itu menggambarkan seseorang yang ingin terbang. Ya,
terbang. Terbang tinggi meraih impian.
Aku
masih terdiam menikmati pancake cokelat yang ibu berikan padaku.
Rasanya? Sungguh, lidahku berkata nihil. Seperti percuma saja aku memakannya.
Terbayang manisnya impian tersebut jika aku berhasil mewujudkannya. Terbayang
bagaimana ibuku berbangga diri dengan pencapaianku. Aku ingin terbang jauh
melampaui ekspektasi orang.
“Agrobisnis?
Kamu yakin dengan mimpi itu?” sejumlah keraguan muncul di wajahnya. Ibuku mulai
tidak mengerti apa yang ingin kupersembahkan bersama impianku tersebut. Bahkan,
ia tak merestuiku untuk melanjutkan studi ke IPB. Ia memaksaku untuk mengikuti
studi lanjutan IT di UGM yang notabene lebih dekat jaraknya dari rumahku
sekarang. Ya.. Aku bisa saja menerima tawaran itu karena aku sedikit cakap
‘memainkan’ komputer. Tapi, tetap saja, mimpi tetaplah sebuah mimpi. I ‘ll
never stop dreaming since I wrote them. Jadi, kau mengerti permasalahanku
sekarang, bukan?.
Memang,
aku sedang butuh kata-kata yang dapat mengangkat semangatku. Biasanya kata-kata
tersebut keluar dari lisan ibuku. Tapi, kali ini yang dikatakan ibuku sungguh
bertolak belakang dengan apa yang aku pikirkan saat ini. Yang dulu aku pikir,
ia akan mendukung mimpiku, tapi mengapa ia mempertanyakannya sekarang?
“Sudah
aku katakan pada ibu. Aku tak bisa melakukan apa yang ibu mau. Hati ini sudah
memilih apa yang terbaik bagiku. Jika ibu bersikeras untuk memasukkanku ke
kampus itu, jangan harap senyumku kembali menghiasi pandangan ibu.”
Melawannya?
Aku terpaksa melakukan itu. Mengapa sih ia tak pernah memahami diriku?. Rasa pede-ku
lenyap seketika diterjang ombak keraguan. Senyumku pun berbeda nada, yang semula
indah berubah tak karuan. Cemberut yang menghapus ceriaku di sore
ini.Kata-katanya bak menjatuhkanku dari ketinggian 300 kaki.
Aku tak mengerti sesaat ia menjadi
penyemangatku, sesaat pula ia berubah menjadi keraguanku. Aku ini sudah dewasa.
Aku berhak menentukan masa depanku sendiri. Masihkah pantas diriku disetir
olehmu, ibu? Sungguh, aku hanya ingin menentukan perjalananku sendiri.
~{0}~
Aku
tetap bersikeras, bersikukuh pada keputusanku. Aku berangkat ke Bogor tanpa
sepengetahuanibuku secara langsung. Tapi, bukan berarti ibuku tak tahu kemana
aku pergi. Aku telah meninggalkan secarik kertas yang telah tercoreng tinta
hitam, surat. Aku meninggalkannya di meja dapur.
“San,
kamu sama sekali tak memberitahu ibumu?” tanya Raihan sesampainya di stasiun.
“Tenanglah,
aku sudah buat surat untuknya, kok. Aku pikir setelah ibu membacanya, ia akan
langsung mengerti. Bagaimana tiketnya? Sudah siap, kan?”
“Emm,...
Sudah, kok. Tapi, bagaimana kalau......”.
“Han,
bersiaplah, bawa barang-barang kita, kau tak ingin terlambat, bukan? Kereta
kita tiga menit lagi sampai.”
Raihan
dengan cepat mempersiapkan barang-barangnya. Raihan pun ikut ke Bogor untuk
mendaftar di IPB. Ia mengincar Agricuture, sedikit berbeda denganku.
Rencananya ia akan bekerja di Perhutani. Yaa... Kita lihat sajalah perkembangan
paru-paru dunia kita. Semakin hari semakin berkurang jumlah penghuninya.
Kadang,
aku suka meledeknya. Kita lihat saja
sekarang, hutan-hutan di sini semakin terdestruksi. Apakah kau tak khawatir
saat kau bekerja? Objek yang akan kau kerjakan telah lenyap dilibas oleh
tangan-tangan biadab yang ada di negeri ini. Mereka yang tak suka terhadap
keberadaan pohon-pohon yang menutupi, pohon-pohon yang hanya membuat gelap bumi
ini. Seberapa dayamu untuk menaklukkan mereka?Ia hanya diam setiap
kali aku mempertanyakan mimpinya. Diam bukan berarti kehilangan percaya diri.
Ia membuat semua kata-kataku sebagai motivasinya. Aku melihatnya, setelah
beberapa saat ia mendengar ejekan dariku, senyum percaya dirinya terpancar
indah bak sinar rembulan di malam yang cerah.
“Han,
kira-kira dengan kemampuan yang aku punya, apakah aku bisa menembus mimpiku?”
“Percaya
diri akan membuatmu yakin akan kemampuanmu, belajar akan meningkatkan
keilmuanmu, dan ibadah akan membuat mimpimu menjadi mudah untuk diraih.
Tapi,...,” Raihan menarik nafasnya. Ia nampak ragu untuk meneruskan ucapannya.
“Tapi
apa?” rasa penasaran menguasai hatiku. Ribuan tanda tanya berbaris menghiasi
seluruh ruang di dalam otakku. Aku sungguh ingin tahu.
“Tapi,
sebenarnya yang kau butuhkan tak hanya itu. Kau butuh hal yang begitu penting.
Penting sekali. Hal inilah yang akan menentukan jalan hidupmu kelak,” aku
semakin dilanda rasa ingin tahu yang terlampau tinggi. Aku sangat tak mengerti
apa yang terucap di lisan Raihan.
“Katakan
apa itu?” aku kembali menunjukkan rasa penasaranku.
“Sebelumnya,
ada hal yang ingin aku tanyakan padamu waktu itu. Tapi, sayang, kau terlalu
cepat memotong kalimatnya. Sudahkah kau mendapat restu yang benar-benar ikhlas
dari ibumu tentang mimpimu ini?”.
“Sepertinya
belum, memangnya kenapa?”.
“Kita
harus kembali, lupakan mimpimu sejenak, kau harus mendapatkan restu itu. Karena
sesungguhnya restu dari ibu lah yang akan selalu mewarnai setiap langkah
kehidupanmu.”
Astaga,
apa yang aku lakukan terhadap ibu?
~{0}~
“San,
aku dapat kabar kalo ibumu sedang sakit sejak malam tadi,” wajahnya cemas.
“Benarkah?
Astaghfirullah, berapa jam lagi kita sampai di rumah?” aku merasa bersalah atas
apa yang aku perbuat terhadap ibuku. Aku sering menentang keputusannya,
meninggalkannya sendirian, serta membiarkannya jatuh sakit. Anak macam apa aku
ini?
“Masih
sekitar 30 menit, masih ada waktu untuk berdoa agar ibumu sehat kembali,”
Raihan mencoba untuk menenangkanku. Cukupkah? Tidak. Aku masih saja panik
mendengar ibuku jatuh sakit.
Sesampainya
di jalan depan rumahku, aku melihat banyak orang yang mengerubungi sekeliling
rumahku. Ada apa gerangan? Aku bergegas menemui ibuku, dimana ia? Entahlah. Aku
hanya ingin kembali memeluknya, meminta maaf padanya, dan meminta restu agar
aku dilancarkan jalan untuk meraih mimpi yang mungkin masih terkutuk ini.
“Inna
lillahi wa inna ilaihi roji’uun...”, salah seorang tetangga ibuku
mengucapkannya. Setelah aku mendengarnya, raga ini mempercepat langkahnya.
Tidak boleh, tidak boleh ia meninggalkanku sebelum aku membahagiakannya. Aku
tak percaya. Berita itu bohong. Aku akan membuktikannya.
Ku
buka pintu kamarnya, aku terkejut bukan kepalang. Raganya terbaring lemas tak
berdaya. Apa yang terjadi pada ibuku? Sungguh ia benar-benar tanpa daya.
“Ibu
tak boleh pergi secepat ini, anakmu ini belum menunjukan kesuksesannya.
Bangunlah, bu. Aku mohon. Ibuuuuuu........!!!! Aghhhhh....”
Air mata deras membanjiri seluruh permukaan
wajahku. Aku menyesal, mengapa semuanya berakhir secepat ini? Semua sudah
terlambat. Tiada lagi kesempatan untuk membuatnya tersenyum. Oh, Tuhan, jika
waktu dapat diulang lima menit saja, sungguh, aku ingin melihat senyum yang
terpancar di mulutnya. Meski itu yang terakhir kali. Maafkan aku, ibu. Aku
sungguh khilaf kepadamu.
Dalam penyesalan ini, aku masih teringat ucapan
Raihan. Ia berkata bahwa kesuksesan mimpi berawal dari restu dan do’a orang
tua, terutama ibu. Sekarang, ia telah pergi selama-lamanya. Mimpiku pun telah
menjadi mimpi yang terkutuk. Mimpi yang belum sempat aku tunjukkan pada ibu.
Pituruh, 28 Oktober 2016. 13.07
bagu banget.. menyentuh sekali :)
BalasHapusTrima kasih
Hapusnjir bagus sekali bro ..sampai tesayat hati ini :)
BalasHapusTrima kasih
Hapus