Laman

Sabtu, 05 November 2016

Cerpen : "Ibu dan Mimpi Yang Terkutuk"

Ibu dan Mimpi Yang Terkutuk

Komputer ini masih menyala, aku sendiri masih disibukkan dengan berbagai macam deadline. Beberapa bulan terakhir ini, aku memang menjadi mahasiswa magang di salah satu perusahaan IT terbesar negeri ini. Aku diminta untuk menjadi editor di bidang perfilman. Sesuai dengan apa yang aku cita-citakan sejak aku memutuskan untuk mengambil IT di UGM.
Sebuah telepon berdering, terbaca di sana nama Raihan “Halo, San. Assalamu’alaikum...”
Dengan cepat, aku mengangkatnya, “Halo juga, Raihan. Wa’alaikumussalam.... Ada apa, Han?”.
“Bagaimana kabarmu di sana? Apakah mimpimu kini dapat melukiskan wajah bahagiamu saat ini?”.
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Aku benar-benar merasakan kebahagiaan itu. Kini, hidupku tak seburuk yang aku kira sebelumnya. Ini benar-benar sebuah keajaiban.”
“Oh, bagus dong. Semoga kau kerasan bekerja sebagai seorang editor di sana. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kau, untuk persahabatan kita juga.”
“Yup, makasih ya, Han?. You’re my best friend ever in my life.
Telepon ini kumatikan. Aku termenung. Panggilan Raihan mengingatkanku pada kisah 4 tahun silam, kisah yang mengubah semua jalan hidupku, awal yang membuat aku menyadari bahwa tak selamanya masa depan harus dipaksakan. Masa depan adalah misteri, hingga kita sampai pada titik itu.
~{0}~
This is our chance. I won’t let it go. We have to reach them,” ucapku sambil menenggak secangkir kopi panas buatan ibuku. “Ya, kita tidak boleh melewatkannya. Mimpi dibuat untuk diraih. Untuk apa beribu untaian tentang tujuan hidup yang hanya terpampang di kening kita?Dreams are made by yourself, so, you must to achieve them,” ibuku memang berpengalaman soal menasihati anak manusia. Apalagi topiknya itu tentang masa depan. Jutaan kata telah ia keluarkan dari mulut pintarnya. So excellent, isn’t it?.
            “Wow, bagaimana bisa paduan kata itu disatukan menjadi sebuah nasihat bijak? Ibumu memang berbakat untuk jadi suksesor Mario Teguh,”Raihan mencoba mencairkan suasana.
“Ah,... Kamu bisa saja,” sahut ibuku sambil menyajikan dua porsi nasi goreng khasnya.
Namaku Hasan. Nama-nama khas orang Muslim. Kenyataanya memang begitu. Cita-citaku menjurus ke arah agraris. Agrobisnis, itulah tujuan hidupku. Kau tahu apa itu mimpi? Aku tidak butuh jawaban benar, aku hanya butuh ucapan mereka yang benar-benar mengerti soal mimpi.
            Langkah kakiku menjelaskan semuanya. Dengan cepat, aku melahap tiap-tiap meter yang ada di depanku. Aku hanya fokus pada satu arah, yaitu depan. Hanya ke depan mataku memandang, bukan ke samping, apalagi ke belakang. Bagiku, belakang hanyalah memori yang tak akan aku ulangi. Mungkin sesekali aku menengok ke arah itu, ketika aku membutuhkan kegagalan demi beribu kesuksesan.
            Kesuksesan adalah harga mati bagi setiap manusia yang masih diberi kesempatan untuk bernafas. Pendapat itu juga berlaku pada diriku. Bukan hanya diriku, kau juga berharap untuk mendapatkan kesuksesan itu, bukan? I’m sure about that! Seperti yang aku katakan tadi, kesuksesan itu adalah harga mati.
            “Hai, kawan. Apa kabar? Masih memikirkan mimpimu yang super itu ya?”,Raihan menyapaku.
            “Alhamdulillah, baik. Untuk apa memikirkan impian itu terlalu lama, kawan? Waktu terus berjalan, apakah kita gunakan waktu hanya untuk berpikir bagaimana cara untuk meraihnya? It’s not correct, isn’t it? Jadi, jangan mikir melulu. Otak juga butuh istirahat. Do you understand me? I hope that’s happened,” mulutnya menganga, seperti terkagum mendengar pernyataan itu.
            “Sudahlah, berhenti memikirkan perkataanku tadi. Pikirkanlah dengan cara apa dirimu berjuang, dengan cara apa dirimu dapat mewujudkan impian. Hei, bangunlah dari tidurmu. Lakukanlah apa yang harus kau lakukan. Dream, believe, and make it happened!”,  sebuah lekuk indah tersungging di bawah hidungnya. Wajahnya dapat memberiku sinyal tanda ia sudah mengerti tentang apa yang kukatakan padanya.
            “Sahabatku ini memang hebat. Proud of you!Akhirnya, aku menemukan sisi motivator dalam dirimu,” puji Raihan.
            “Thanks, aku akan selalu siap menjadi apa yang kau inginkan,” aku merangkul dan mendekap tubuh Raihan. Ia pun membalasnya dengan agresif. Kami berdua saling mendukung, saling menasihati, dan saling menyatukan tekad demi perwujudan mimpi masing-masing.
~{0}~
            I used to think that I could not go on and live was nothing but an awful song. But, now I know the meaning of true love. I’m leaning on the everlasting arms. If I can see it then I can do it. If I just believe it, there’s nothing to it. I believe I can fly. I believe I can touch the sky. I think about it every night and day. Spread my wings and fly away. I believe I can soar. I see me running through that open door. I believe I can fly, I believe I can fly, I believe I can fly.
            I Believe I Can Fly milik Robert S. Kelly itu mengalun indah di speaker Music Box milikku. Setidaknya lagu itu menggambarkan seseorang yang ingin terbang. Ya, terbang. Terbang tinggi meraih impian.
            Aku masih terdiam menikmati pancake cokelat yang ibu berikan padaku. Rasanya? Sungguh, lidahku berkata nihil. Seperti percuma saja aku memakannya. Terbayang manisnya impian tersebut jika aku berhasil mewujudkannya. Terbayang bagaimana ibuku berbangga diri dengan pencapaianku. Aku ingin terbang jauh melampaui ekspektasi orang.
            “Agrobisnis? Kamu yakin dengan mimpi itu?” sejumlah keraguan muncul di wajahnya. Ibuku mulai tidak mengerti apa yang ingin kupersembahkan bersama impianku tersebut. Bahkan, ia tak merestuiku untuk melanjutkan studi ke IPB. Ia memaksaku untuk mengikuti studi lanjutan IT di UGM yang notabene lebih dekat jaraknya dari rumahku sekarang. Ya.. Aku bisa saja menerima tawaran itu karena aku sedikit cakap ‘memainkan’ komputer. Tapi, tetap saja, mimpi tetaplah sebuah mimpi. I ‘ll never stop dreaming since I wrote them. Jadi, kau mengerti permasalahanku sekarang, bukan?.
            Memang, aku sedang butuh kata-kata yang dapat mengangkat semangatku. Biasanya kata-kata tersebut keluar dari lisan ibuku. Tapi, kali ini yang dikatakan ibuku sungguh bertolak belakang dengan apa yang aku pikirkan saat ini. Yang dulu aku pikir, ia akan mendukung mimpiku, tapi mengapa ia mempertanyakannya sekarang?
            “Sudah aku katakan pada ibu. Aku tak bisa melakukan apa yang ibu mau. Hati ini sudah memilih apa yang terbaik bagiku. Jika ibu bersikeras untuk memasukkanku ke kampus itu, jangan harap senyumku kembali menghiasi pandangan ibu.”
            Melawannya? Aku terpaksa melakukan itu. Mengapa sih ia tak pernah memahami diriku?. Rasa pede-ku lenyap seketika diterjang ombak keraguan. Senyumku pun berbeda nada, yang semula indah berubah tak karuan. Cemberut yang menghapus ceriaku di sore ini.Kata-katanya bak menjatuhkanku dari ketinggian 300 kaki.
Aku tak mengerti sesaat ia menjadi penyemangatku, sesaat pula ia berubah menjadi keraguanku. Aku ini sudah dewasa. Aku berhak menentukan masa depanku sendiri. Masihkah pantas diriku disetir olehmu, ibu? Sungguh, aku hanya ingin menentukan perjalananku sendiri.
~{0}~
            Aku tetap bersikeras, bersikukuh pada keputusanku. Aku berangkat ke Bogor tanpa sepengetahuanibuku secara langsung. Tapi, bukan berarti ibuku tak tahu kemana aku pergi. Aku telah meninggalkan secarik kertas yang telah tercoreng tinta hitam, surat. Aku meninggalkannya di meja dapur.
            “San, kamu sama sekali tak memberitahu ibumu?” tanya Raihan sesampainya di stasiun.
            “Tenanglah, aku sudah buat surat untuknya, kok. Aku pikir setelah ibu membacanya, ia akan langsung mengerti. Bagaimana tiketnya? Sudah siap, kan?”
            “Emm,... Sudah, kok. Tapi, bagaimana kalau......”.
            “Han, bersiaplah, bawa barang-barang kita, kau tak ingin terlambat, bukan? Kereta kita tiga menit lagi sampai.”
            Raihan dengan cepat mempersiapkan barang-barangnya. Raihan pun ikut ke Bogor untuk mendaftar di IPB. Ia mengincar Agricuture, sedikit berbeda denganku. Rencananya ia akan bekerja di Perhutani. Yaa... Kita lihat sajalah perkembangan paru-paru dunia kita. Semakin hari semakin berkurang jumlah penghuninya.
            Kadang, aku suka meledeknya. Kita lihat saja sekarang, hutan-hutan di sini semakin terdestruksi. Apakah kau tak khawatir saat kau bekerja? Objek yang akan kau kerjakan telah lenyap dilibas oleh tangan-tangan biadab yang ada di negeri ini. Mereka yang tak suka terhadap keberadaan pohon-pohon yang menutupi, pohon-pohon yang hanya membuat gelap bumi ini. Seberapa dayamu untuk menaklukkan mereka?Ia hanya diam setiap kali aku mempertanyakan mimpinya. Diam bukan berarti kehilangan percaya diri. Ia membuat semua kata-kataku sebagai motivasinya. Aku melihatnya, setelah beberapa saat ia mendengar ejekan dariku, senyum percaya dirinya terpancar indah bak sinar rembulan di malam yang cerah.
            “Han, kira-kira dengan kemampuan yang aku punya, apakah aku bisa menembus mimpiku?”
            “Percaya diri akan membuatmu yakin akan kemampuanmu, belajar akan meningkatkan keilmuanmu, dan ibadah akan membuat mimpimu menjadi mudah untuk diraih. Tapi,...,” Raihan menarik nafasnya. Ia nampak ragu untuk meneruskan ucapannya.
            “Tapi apa?” rasa penasaran menguasai hatiku. Ribuan tanda tanya berbaris menghiasi seluruh ruang di dalam otakku. Aku sungguh ingin tahu.
            “Tapi, sebenarnya yang kau butuhkan tak hanya itu. Kau butuh hal yang begitu penting. Penting sekali. Hal inilah yang akan menentukan jalan hidupmu kelak,” aku semakin dilanda rasa ingin tahu yang terlampau tinggi. Aku sangat tak mengerti apa yang terucap di lisan Raihan.
            “Katakan apa itu?” aku kembali menunjukkan rasa penasaranku.
            “Sebelumnya, ada hal yang ingin aku tanyakan padamu waktu itu. Tapi, sayang, kau terlalu cepat memotong kalimatnya. Sudahkah kau mendapat restu yang benar-benar ikhlas dari ibumu tentang mimpimu ini?”.
            “Sepertinya belum, memangnya kenapa?”.
            “Kita harus kembali, lupakan mimpimu sejenak, kau harus mendapatkan restu itu. Karena sesungguhnya restu dari ibu lah yang akan selalu mewarnai setiap langkah kehidupanmu.”
            Astaga, apa yang aku lakukan terhadap ibu?
~{0}~
            “San, aku dapat kabar kalo ibumu sedang sakit sejak malam tadi,” wajahnya cemas.
            “Benarkah? Astaghfirullah, berapa jam lagi kita sampai di rumah?” aku merasa bersalah atas apa yang aku perbuat terhadap ibuku. Aku sering menentang keputusannya, meninggalkannya sendirian, serta membiarkannya jatuh sakit. Anak macam apa aku ini?
            “Masih sekitar 30 menit, masih ada waktu untuk berdoa agar ibumu sehat kembali,” Raihan mencoba untuk menenangkanku. Cukupkah? Tidak. Aku masih saja panik mendengar ibuku jatuh sakit.
            Sesampainya di jalan depan rumahku, aku melihat banyak orang yang mengerubungi sekeliling rumahku. Ada apa gerangan? Aku bergegas menemui ibuku, dimana ia? Entahlah. Aku hanya ingin kembali memeluknya, meminta maaf padanya, dan meminta restu agar aku dilancarkan jalan untuk meraih mimpi yang mungkin masih terkutuk ini.
            “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun...”, salah seorang tetangga ibuku mengucapkannya. Setelah aku mendengarnya, raga ini mempercepat langkahnya. Tidak boleh, tidak boleh ia meninggalkanku sebelum aku membahagiakannya. Aku tak percaya. Berita itu bohong. Aku akan membuktikannya.
            Ku buka pintu kamarnya, aku terkejut bukan kepalang. Raganya terbaring lemas tak berdaya. Apa yang terjadi pada ibuku? Sungguh ia benar-benar tanpa daya.
            “Ibu tak boleh pergi secepat ini, anakmu ini belum menunjukan kesuksesannya. Bangunlah, bu. Aku mohon. Ibuuuuuu........!!!! Aghhhhh....”
Air mata deras membanjiri seluruh permukaan wajahku. Aku menyesal, mengapa semuanya berakhir secepat ini? Semua sudah terlambat. Tiada lagi kesempatan untuk membuatnya tersenyum. Oh, Tuhan, jika waktu dapat diulang lima menit saja, sungguh, aku ingin melihat senyum yang terpancar di mulutnya. Meski itu yang terakhir kali. Maafkan aku, ibu. Aku sungguh khilaf kepadamu.
Dalam penyesalan ini, aku masih teringat ucapan Raihan. Ia berkata bahwa kesuksesan mimpi berawal dari restu dan do’a orang tua, terutama ibu. Sekarang, ia telah pergi selama-lamanya. Mimpiku pun telah menjadi mimpi yang terkutuk. Mimpi yang belum sempat aku tunjukkan pada ibu.

Pituruh, 28 Oktober 2016. 13.07

4 komentar: