Laman

Rabu, 10 Mei 2017

Cerpen : "Sebutir Dusta Dalam Hati"



Sebutir Dusta Dalam Hati
“Dunia ini telah menunjukkan akan kehancurannya. Di mana kini prestasi lebih dihargai dibandingkan dengan kejujuran. Mau jadi apa dunia ini? Menjadi sarang kebohongan? Kakek hanya berharap kalian senantiasa sabar menghadapi zaman yang penuh kehinaan ini.” Kakekku kembali menenggak secangkir kopi pahit, matanya yang hitam pekat sejenak memandang kami kemudian sesekali mengarahkan matanya ke arah sawah.
“Iya, kek. Kami akan selalu mengingat nasihat dari Kakek. Dunia ini memang sudah hancur, kek. Prestasi yang mungkin haram dihargai dengan mudahnya. Mereka tak memandang proses. Mereka hanya menginginkan hasil akhir.” Aku menambahkan sedikit opiniku padanya.
“Benar, kek. Kami pun heran. Mengapa negeri ini begitu mudahnya dirusak? Kita dibutakan oleh gelar, harta, atau hal lain yang sejatinya tidak begitu berharga di dunia. Bahkan boleh dikatakan, kejujuran kini bukan jaminan prestasi. Satu kata untuk negeri ini, memprihatinkan.” Yanto pun berhasrat meramaikan obrolan ini. Ia sangat suka membahas hal-hal seperti ini.
“Kalian semua benar. Pencapaian dalam hidup itu penting, cita-cita dan mimpi itu penting. Tetapi, untuk apa kita meraih semua itu tanpa adanya keikhlasan dan kejujuran? Nihil di dunia, nihil juga di akhirat.” Kakekku dulu adalah seorang wartawan yang kritis, cerdas, dan juga tanggap terhadap semua masalah yang menimpa negeri ini. Beliau adalah salah satu motivasi terbesar dalam perjalanan meraih mimpiku.
~{0}~
Aku dan Yanto kembali melanjutkan perjalanan. Kami bernostalgia tentang masa lalu kami. Kami juga bercerita tentang apa yang kami capai setelah mengenyam kerasnya bangku sekolah. Kami melepas rindu di setiap langkah kaki.
“Hardi, aku baru saja ditawari pekerjaan. Upahnya juga lumayan, Har. Kira-kira aku terima ndak ya?” ucap Yanto sambil membuka isi tas kecilnya, mengambil secarik kertas lalu menunjukkannya padaku.
“Hmm.., kamu yakin dengan pekerjaan ini?”
“Aku ragu, Har. Makanya aku tanya sama kamu. Sampeyan ki piye toh?
“Kalau menurut aku, terima saja dahulu. Nanti kalau kamu merasa cocok dengan pekerjaanmu itu, kamu bisa lanjutkan. Nanging aja lali, sampeyan kudu tetep jujur, To” Aku tersenyum memandangnya. Sahabat kecilku kini sudah bisa merasakan nikmatnya berkerja. Ya.. walau hanya di perusahaan kecil di desa. Tetapi, itu cukup untuk membuatnya bahagia.
Yanto sangat ingin menghidupi keluarganya yang kini hanya tersisa dua orang saja, yakni ia dan adiknya. Ibu dan ayahnya telah lama meninggal. Ia harus mencukupi kebutuhan adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia pun terpaksa berhenti sekolah karena keterbatasan biaya.
“Siap, Har. Oh iya, lali aku. Aku belum jemput adikku di sekolah. Aku pamit pulang dulu, Har. Wassalamu’alaikum...” Yanto berbelok arah menuju rumahnya kemudian ia masuk sebentar, mengambil sepedanya, lalu ia berangkat menjemput adiknya.
Aku benar-benar kagum denganmu, To. Kamu memiliki semangat yang tinggi untuk terus berusaha. Kau tidak pernah mengeluh menahan beban yang kau rasa. Kau selalu ingin membahagiakan adikmu dan menyempatkan waktu untuknya. Aku bangga mempunyai sahabat sepertimu, To. Batinku kembali memuji dirinya. Dia sungguh membuatku bangga.
~{0}~
Lir-ilir lir-ilir. Tandure wus sumilir. Tak ijo royo-royo tak senggut temanten anyar. Cah angon, cah angon penekna blimbing kuwi. Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodot ira. Dodot ira, dodot ira kumitir bedhah ing pinggir. Dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore. Mumpung padang rembulane, mumpur jembar kalangane. Yo surak a surak ayo. Yo surak a surak horee...
Tembang Lir Ilir itu mengalun indah di mulut sekelompok anak. Mereka tampak senang dan gembira bermain, berlarian kesana kemari. Aroma kepolosan seorang anak benar-benar tampak di desa ini. Aku pun kembali mengingat masa kecilku yang sangat sederhana, yang hanya mengerti soal keriang gembiraan, berbahagia tanpa uang dalam genggaman, tanpa beban di pundak, dan tanpa kebohongan terukir di hati.
Terhenyak aku sesaat, seseorang pria berpakaian hitam-hitam berlari terbirit-birit. Postur tubuhnya seperti tidak asing lagi. Cara dia berlari pun seperti kukenal. Namun, aku tetap saja tidak dapat memastikan siapa orang itu. Penasaran menguasai raga ini. Aku pun mencoba mencari tahu siapa dia. Sial bagiku, kecepatan lariku tidak dapat menandingi kecepatan larinya. Aku pun mengurungkan niat mengejar pria itu.
Aku masih terdiam menikmati singkong rebus yang kakek berikan padaku. Rasanya? Sungguh, lidahku berkata nihil. Seperti percuma saja aku memakannya. Pikirku melayang ke kejadian tadi. Aku dirundung rasa ingin tahu yang tinggi. Perasaanku mulai berubah. Siapa dia?
“Har, sedang apa kau? Kau tampak sedang memikirkan sesuatu. Katakan apa itu?” sejumlah kecemasan muncul di wajahnya. Kakekku terus memandangiku seakan meminta jawaban dari pertanyaannya.
Boten onten napa-napa. Monggo dilanjut makannya, kek” Aku masih ragu untuk menceritakan ini semua pada kakek. Untuk saat ini, aku belum membutuhkan bantuan kakek dalam masalah ini.
Terlihat seseorang berjalan dari arah barat. Tampaknya ia sedang lelah, bahunya memanggul sebuah cangkul dan tangannya menggenggam sebilah sabit. Ia adalah Yanto. Ia pun menghampiriku.
“Hai, Har. Kamu masih di sini? Bukannya hari ini kamu akan balik ke ibukota?” Yanto berjalan mendekat lalu duduk bersamaku dan kakek di gubuk ini.
“Aku masih ingin berada di sini, To. Aku masih rindu dengan suasana di kampung ini. Aku masih ingin melihat keasrian, keaslian, dan kesejukan yang tidak aku temui di Jakarta. Mungkin besok, aku baru bertolak ke sana.”
Owalah ngono. Oh iya, dari kemarin aku belum sempat nanya ini ke kamu. Sebenarnya kamu kerja apa di sana?”
“Aku belum bekerja, To. Aku masih kuliah. Masih ada sekitar 2 semester lagi yang harus aku selesaikan. Rencananya aku ingin bekerja sebagai wartawan, seperti kakek dulu. Oh iya, bagaimana dengan pekerjaanmu sekarang? Tawaran yang kemarin, apakah kamu menerimanya?”
“Aku terima, Har. Dan siang ini, aku akan mulai bekerja.” Yanto tampak aneh. Nada bicaranya lain tak seperti biasanya. Raut mukanya pun dipenuhi kegelisahan. Seharusnya ia gembira dengan ini. Tetapi, mengapa ia tampak gelisah?
“Alhamdulillah, deh. Akhirnya kamu bisa bekerja.”, sahut aku mendengar pernyataannya.
“Iya, Har. Alhamdulillah.. Maaf, Har. Aku pulang dulu ya.. Siap-siap bekerja. Wassalamu’alaikum..”
“Oh iya, hati-hati. Wa’alaikumussalam..” Ada yang berbeda dalam dirinya. Entah apa itu. Aku pun bingung. Apa ini ada hubungannya dengan pria tadi? Entahlah, aku tak boleh terburu-buru dalam menyimpulkan.
~{0}~
Aku melanjutkan petualangan di desa ini. Desa yang penuh akan sejarah. Desa yang membesarkanku hingga berujud seperti ini. Aku berjalan bersama awan cerah yang mengikuti langkahku. Matahari pagi yang sudah melewati seperempat langit. Serta udara sejuk yang senantiasa mnemaniku sepanjang pagi ini.
Tiba-tiba sosok pria itu kembali muncul. Kini ia memakai jaket berwarna hitam serta jeans berwarna biru gelap. Aku berhasrat mengikutinya. Aku tak boleh kehilangan jejaknya. Bagaimana pun aku harus memastikan bahwa itu Yanto atau bukan. Sebenarnya apa pekerjaan Yanto?
Aku terus mengikuti langkahnya. Sungguh mencurigakan. Ia berhenti di suatu bangunan. Berdiri, kepalanya menoleh-noleh ke segala arah. Lalu ia berjalan memasuki bangunan tersebut. Apa yang akan dia perbuat? Setelah sekitar dua menit di dalam bangunan itu, ia keluar sambil membawa amplop berwarna coklat lalu berjalan lagi ke arah yang berlawanan.
Aku masih mengikuti di belakangnya. Ia berjalan menuju kampungku. Namun, tak seperti orang-orang lain yang memilih jalan ramai, namun yang ia lakukan sebaliknya. Aku terus memandanginya dari belakang. Aku terus mengawasi gerak-geriknya yang dipenuhi kecurigaan.
Ini kan jalan menuju rumah Yanto. Untuk apa dia ke sana? Pria itu tak boleh lepas dari pengawasanku. Aku menggumam dalam hati. Prasangka demi prasangka melayang bertebaran di dalam pikiranku. Apa yang ingin pria itu lakukan pada Yanto? Pria itu membuka pintu rumah Yanto. Beberapa saat kemudian, ia menggendong adik Yanto yang sedang tertidur pulas.
Mau dibawa ke mana anak itu? Apa yang akan dia lakukan? Astaga! Aku harus beritahu Yanto secepatnya. Aku pun berlari pelan-pelan menjauhi tempat persembunyianku itu. Aku pergi mencari Yanto. Aku masih menggenggam secarik kertas berisikan alamat tempat dimana Yanto bekerja. Aku pun bergegas pergi ke tempat itu.
“Maaf, pak. Saya ingin bertanya. Apakah di sini ada karyawan bernama Yanto?”
“Maaf, tidak ada, mas. Bahkan saya tidak kenal.”
“Oh, ya sudah, pak. Maaf mengganggu. Saya pergi dulu, pak. Wassalamu’alaikum...”
“Oh iya iya, silakan. Wa’alaikumussalam...”
Aneh, dia bilang kepadaku dia bekerja di perusahaan itu. Namun, salah satu karyawannya pun sampai tidak mengenalnya. Mana mungkin Yanto berbohong padaku? Tapi, karyawan itu juga tidak mungkin berbohong.
Siapa gerangan yang membawa adik Yanto keluar rumah? Sial! Aku tidak mengikuti orang itu. Tapi, seingat aku, adik Yanto sedang sakit. Jadi, mungkin saja dia sedang di rumah sakit. Aku berjalan pergi dari tempat itu. Aku putuskan untuk pergi ke puskesmas atau rumah sakit terdekat. Sampai kini aku masih keheranan. Siapa pria itu?
~{0}~
“Yanto? Hei! Kenapa kau lari? Hei tunggu!” Tubuhnya berbalik arah. Dia tampak ketakutan saat melihatku. Aku sempat sekilas melihat larinya. Astaga! Jadi, pria itu? Arrgghh... Aku harus mengejarnya.
Tubuhnya terhempas ke tanah setelah kakinya menghantam sebuah akar pohon. Aku bergegas mendekatinya. Dia masih mencoba untuk bangkit dan melarikan diri lagi. Tetapi, raga tak merespon. Akhirnya, ia pun terbaring lemah.
“Kau baik-baik saja, bukan?” Kubuka perlahan penutup kepalanya. Belum sempat terbuka, ia menyanggah tanganku.
“Jangan! Kau sudah tahu siapa aku. Maaf aku harus pergi. Adikku sedang sakit, aku harus menungguinya di rumah sakit. Aku tidak boleh terlambat” Suaranya sudah familiar di telingaku. Benar anggapanku terhadap pria ini.
“Tunggu! Apakah ini kamu, To? Jika benar, mengapa kamu memakai topeng dan penutup kepala seperti ini?”
“Kamu benar, Har. Ceritanya panjang dan bukan saatnya aku katakan yang sesungguhnya padamu. Kini, aku hanya harus menjaga adikku. Adikku sedang terbaring lemah. Dia membutuhkanku. Jadi, tolong perkenankan aku pergi sekarang.”
“Dengar, aku ini sahabatmu. Seharusnya kamu berterus terang padaku. Mengapa harus malu? Jika hal ini menyakitkan dan kau tidak mau jujur, hal ini akan terasa lebih menyakitkan. Sekarang katakan, mengapa kau seperti ini?”
“Baiklah jika kau memaksaku. Har, aku itu seorang perampok suruhan. Bosku adalah seorang mafia. Kemarin, waktu aku mendaftar bekerja di perusahaan itu, aku tidak diterima. Aku kecewa, Har. Aku terpaksa melakukan hal ini demi adikku. Adikku membutuhkan uang untuk kesembuhannya. Sekali lagi, aku terpaksa, Har”
“Mengapa kau lakukan itu? Bukankah masih banyak pekerjaan yang seharusnya kau ambil di dunia ini? Iya, aku tahu kau terpaksa, tapi mengapa kau ambil jalur yang jelas-jelas haram? Kau juga bisa meminta pinjaman uang dariku, bukan? Itu tak apa, tak masalah bagiku. Daripada kau harus berbuat keji”
“Maafkan aku, Har. Aku sangat kecewa waktu itu. Kau tahu sendiri, adikku lah satu-satunya hartaku saat ini”
“Sudah, sudah. Begini saja, kau pakai uangku dahulu untuk membayar semua biaya rumah sakit. Dan kau harus ingat, kau tak boleh mengulangi kekejian seperti ini. Kejujuran adalah nomor satu. Hidupmu dapat menjadi petaka hanya karena sebutir dusta dalam hati. Kau harus menjaga hatimu dari duri-duri kekejian yang dapat menyerangmu setiap saat.” Yanto memeluk erat tubuhku. Aku merasakan kebahagiaan merasuki tubuhnya. Aku juga melihat senyumnya terpancar lepas dari wajahnya.
“Terima kasih, Har. Kau benar-benar sahabat terbaikku. Seharusnya aku bersyukur telah diberikan seseorang yang begitu peduli pada diriku. Sekali lagi, makasih, Har” Senyumnya kembali terukir. Senyum yang seakan menghapus kekecewaan yang ia rasakan. Aku harap senyum itu terus terjaga hingga ia memejamkan mata untuk terakhir kalinya.

Pituruh, 2 April 2017. 14.57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar