Sebutir Dusta Dalam Hati
“Dunia
ini telah menunjukkan akan kehancurannya. Di mana kini prestasi lebih dihargai
dibandingkan dengan kejujuran. Mau jadi apa dunia ini? Menjadi sarang
kebohongan? Kakek hanya berharap kalian senantiasa sabar menghadapi zaman yang
penuh kehinaan ini.” Kakekku kembali menenggak secangkir kopi pahit, matanya
yang hitam pekat sejenak memandang kami kemudian sesekali mengarahkan matanya
ke arah sawah.
“Iya,
kek. Kami akan selalu mengingat nasihat dari Kakek. Dunia ini memang sudah
hancur, kek. Prestasi yang mungkin haram dihargai dengan mudahnya. Mereka tak
memandang proses. Mereka hanya menginginkan hasil akhir.” Aku menambahkan
sedikit opiniku padanya.
“Benar,
kek. Kami pun heran. Mengapa negeri ini begitu mudahnya dirusak? Kita dibutakan
oleh gelar, harta, atau hal lain yang sejatinya tidak begitu berharga di dunia.
Bahkan boleh dikatakan, kejujuran kini bukan jaminan prestasi. Satu kata untuk
negeri ini, memprihatinkan.” Yanto pun berhasrat meramaikan obrolan ini. Ia
sangat suka membahas hal-hal seperti ini.
“Kalian
semua benar. Pencapaian dalam hidup itu penting, cita-cita dan mimpi itu
penting. Tetapi, untuk apa kita meraih semua itu tanpa adanya keikhlasan dan
kejujuran? Nihil di dunia, nihil juga di akhirat.” Kakekku dulu adalah seorang
wartawan yang kritis, cerdas, dan juga tanggap terhadap semua masalah yang
menimpa negeri ini. Beliau adalah salah satu motivasi terbesar dalam perjalanan
meraih mimpiku.
~{0}~
Aku dan
Yanto kembali melanjutkan perjalanan. Kami bernostalgia tentang masa lalu kami.
Kami juga bercerita tentang apa yang kami capai setelah mengenyam kerasnya
bangku sekolah. Kami melepas rindu di setiap langkah kaki.
“Hardi,
aku baru saja ditawari pekerjaan. Upahnya juga lumayan, Har. Kira-kira aku
terima ndak ya?” ucap Yanto sambil membuka isi tas kecilnya, mengambil secarik
kertas lalu menunjukkannya padaku.
“Hmm..,
kamu yakin dengan pekerjaan ini?”
“Aku
ragu, Har. Makanya aku tanya sama kamu. Sampeyan
ki piye toh?”
“Kalau
menurut aku, terima saja dahulu. Nanti kalau kamu merasa cocok dengan
pekerjaanmu itu, kamu bisa lanjutkan. Nanging
aja lali, sampeyan kudu tetep jujur, To” Aku tersenyum memandangnya.
Sahabat kecilku kini sudah bisa merasakan nikmatnya berkerja. Ya.. walau hanya
di perusahaan kecil di desa. Tetapi, itu cukup untuk membuatnya bahagia.
Yanto
sangat ingin menghidupi keluarganya yang kini hanya tersisa dua orang saja,
yakni ia dan adiknya. Ibu dan ayahnya telah lama meninggal. Ia harus mencukupi
kebutuhan adiknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Ia pun terpaksa
berhenti sekolah karena keterbatasan biaya.
“Siap,
Har. Oh iya, lali aku. Aku belum
jemput adikku di sekolah. Aku pamit pulang dulu, Har. Wassalamu’alaikum...”
Yanto berbelok arah menuju rumahnya kemudian ia masuk sebentar, mengambil
sepedanya, lalu ia berangkat menjemput adiknya.
Aku
benar-benar kagum denganmu, To. Kamu memiliki semangat yang tinggi untuk terus
berusaha. Kau tidak pernah mengeluh menahan beban yang kau rasa. Kau selalu
ingin membahagiakan adikmu dan menyempatkan waktu untuknya. Aku bangga mempunyai
sahabat sepertimu, To. Batinku
kembali memuji dirinya. Dia sungguh membuatku bangga.
~{0}~
Lir-ilir
lir-ilir. Tandure wus sumilir. Tak ijo royo-royo tak senggut temanten anyar.
Cah angon, cah angon penekna blimbing kuwi. Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh
dodot ira. Dodot ira, dodot ira kumitir bedhah ing pinggir. Dondomana jrumatana
kanggo seba mengko sore. Mumpung padang rembulane, mumpur jembar kalangane. Yo
surak a surak ayo. Yo surak a surak horee...
Tembang
Lir Ilir itu mengalun indah di mulut sekelompok anak. Mereka tampak senang dan
gembira bermain, berlarian kesana kemari. Aroma kepolosan seorang anak
benar-benar tampak di desa ini. Aku pun kembali mengingat masa kecilku yang
sangat sederhana, yang hanya mengerti soal keriang gembiraan, berbahagia tanpa
uang dalam genggaman, tanpa beban di pundak, dan tanpa kebohongan terukir di
hati.
Terhenyak
aku sesaat, seseorang pria berpakaian hitam-hitam berlari terbirit-birit.
Postur tubuhnya seperti tidak asing lagi. Cara dia berlari pun seperti kukenal.
Namun, aku tetap saja tidak dapat memastikan siapa orang itu. Penasaran
menguasai raga ini. Aku pun mencoba mencari tahu siapa dia. Sial bagiku,
kecepatan lariku tidak dapat menandingi kecepatan larinya. Aku pun mengurungkan
niat mengejar pria itu.
Aku masih
terdiam menikmati singkong rebus yang kakek berikan padaku. Rasanya? Sungguh,
lidahku berkata nihil. Seperti percuma saja aku memakannya. Pikirku melayang ke
kejadian tadi. Aku dirundung rasa ingin tahu yang tinggi. Perasaanku mulai
berubah. Siapa dia?
“Har,
sedang apa kau? Kau tampak sedang memikirkan sesuatu. Katakan apa itu?”
sejumlah kecemasan muncul di wajahnya. Kakekku terus memandangiku seakan
meminta jawaban dari pertanyaannya.
“Boten onten napa-napa. Monggo dilanjut
makannya, kek” Aku masih ragu untuk menceritakan ini semua pada kakek. Untuk
saat ini, aku belum membutuhkan bantuan kakek dalam masalah ini.
Terlihat seseorang berjalan
dari arah barat. Tampaknya ia sedang lelah, bahunya memanggul sebuah cangkul dan
tangannya menggenggam sebilah sabit. Ia adalah Yanto. Ia pun menghampiriku.
“Hai,
Har. Kamu masih di sini? Bukannya hari ini kamu akan balik ke ibukota?” Yanto
berjalan mendekat lalu duduk bersamaku dan kakek di gubuk ini.
“Aku
masih ingin berada di sini, To. Aku masih rindu dengan suasana di kampung ini.
Aku masih ingin melihat keasrian, keaslian, dan kesejukan yang tidak aku temui
di Jakarta. Mungkin besok, aku baru bertolak ke sana.”
“Owalah ngono. Oh iya, dari kemarin aku
belum sempat nanya ini ke kamu. Sebenarnya kamu kerja apa di sana?”
“Aku
belum bekerja, To. Aku masih kuliah. Masih ada sekitar 2 semester lagi yang
harus aku selesaikan. Rencananya aku ingin bekerja sebagai wartawan, seperti
kakek dulu. Oh iya, bagaimana dengan pekerjaanmu sekarang? Tawaran yang
kemarin, apakah kamu menerimanya?”
“Aku
terima, Har. Dan siang ini, aku akan mulai bekerja.” Yanto tampak aneh. Nada
bicaranya lain tak seperti biasanya. Raut mukanya pun dipenuhi kegelisahan.
Seharusnya ia gembira dengan ini. Tetapi, mengapa ia tampak gelisah?
“Alhamdulillah,
deh. Akhirnya kamu bisa bekerja.”, sahut aku mendengar pernyataannya.
“Iya,
Har. Alhamdulillah.. Maaf, Har. Aku pulang dulu ya.. Siap-siap bekerja. Wassalamu’alaikum..”
“Oh iya,
hati-hati. Wa’alaikumussalam..” Ada yang berbeda dalam dirinya. Entah apa itu.
Aku pun bingung. Apa ini ada hubungannya dengan pria tadi? Entahlah, aku tak
boleh terburu-buru dalam menyimpulkan.
~{0}~
Aku
melanjutkan petualangan di desa ini. Desa yang penuh akan sejarah. Desa yang membesarkanku
hingga berujud seperti ini. Aku berjalan bersama awan cerah yang mengikuti
langkahku. Matahari pagi yang sudah melewati seperempat langit. Serta udara
sejuk yang senantiasa mnemaniku sepanjang pagi ini.
Tiba-tiba
sosok pria itu kembali muncul. Kini ia memakai jaket berwarna hitam serta jeans
berwarna biru gelap. Aku berhasrat mengikutinya. Aku tak boleh kehilangan
jejaknya. Bagaimana pun aku harus memastikan bahwa itu Yanto atau bukan.
Sebenarnya apa pekerjaan Yanto?
Aku
terus mengikuti langkahnya. Sungguh mencurigakan. Ia berhenti di suatu
bangunan. Berdiri, kepalanya menoleh-noleh ke segala arah. Lalu ia berjalan
memasuki bangunan tersebut. Apa yang akan dia perbuat? Setelah sekitar dua
menit di dalam bangunan itu, ia keluar sambil membawa amplop berwarna coklat
lalu berjalan lagi ke arah yang berlawanan.
Aku
masih mengikuti di belakangnya. Ia berjalan menuju kampungku. Namun, tak
seperti orang-orang lain yang memilih jalan ramai, namun yang ia lakukan
sebaliknya. Aku terus memandanginya dari belakang. Aku terus mengawasi
gerak-geriknya yang dipenuhi kecurigaan.
Ini kan
jalan menuju rumah Yanto. Untuk
apa dia ke sana? Pria itu tak boleh lepas dari pengawasanku. Aku menggumam dalam hati. Prasangka demi
prasangka melayang bertebaran di dalam pikiranku. Apa yang ingin pria itu
lakukan pada Yanto? Pria itu membuka pintu rumah Yanto. Beberapa saat kemudian,
ia menggendong adik Yanto yang sedang tertidur pulas.
Mau
dibawa ke mana anak itu? Apa yang akan dia lakukan? Astaga! Aku harus beritahu
Yanto secepatnya. Aku pun
berlari pelan-pelan menjauhi tempat persembunyianku itu. Aku pergi mencari
Yanto. Aku masih menggenggam secarik kertas berisikan alamat tempat dimana
Yanto bekerja. Aku pun bergegas pergi ke tempat itu.
“Maaf,
pak. Saya ingin bertanya. Apakah di sini ada karyawan bernama Yanto?”
“Maaf,
tidak ada, mas. Bahkan saya tidak kenal.”
“Oh, ya
sudah, pak. Maaf mengganggu. Saya pergi dulu, pak. Wassalamu’alaikum...”
“Oh iya
iya, silakan. Wa’alaikumussalam...”
Aneh,
dia bilang kepadaku dia bekerja di perusahaan itu. Namun, salah satu
karyawannya pun sampai tidak mengenalnya. Mana mungkin Yanto berbohong padaku?
Tapi, karyawan itu juga tidak mungkin berbohong.
Siapa
gerangan yang membawa adik Yanto keluar rumah? Sial! Aku tidak mengikuti orang
itu. Tapi, seingat aku, adik Yanto sedang sakit. Jadi, mungkin saja dia sedang
di rumah sakit. Aku
berjalan pergi dari tempat itu. Aku putuskan untuk pergi ke puskesmas atau
rumah sakit terdekat. Sampai kini aku masih keheranan. Siapa pria itu?
~{0}~
“Yanto?
Hei! Kenapa kau lari? Hei tunggu!” Tubuhnya berbalik arah. Dia tampak ketakutan
saat melihatku. Aku sempat sekilas melihat larinya. Astaga! Jadi, pria itu?
Arrgghh... Aku harus mengejarnya.
Tubuhnya
terhempas ke tanah setelah kakinya menghantam sebuah akar pohon. Aku bergegas
mendekatinya. Dia masih mencoba untuk bangkit dan melarikan diri lagi. Tetapi,
raga tak merespon. Akhirnya, ia pun terbaring lemah.
“Kau
baik-baik saja, bukan?” Kubuka perlahan penutup kepalanya. Belum sempat
terbuka, ia menyanggah tanganku.
“Jangan!
Kau sudah tahu siapa aku. Maaf aku harus pergi. Adikku sedang sakit, aku harus
menungguinya di rumah sakit. Aku tidak boleh terlambat” Suaranya sudah familiar
di telingaku. Benar anggapanku terhadap pria ini.
“Tunggu!
Apakah ini kamu, To? Jika benar, mengapa kamu memakai topeng dan penutup kepala
seperti ini?”
“Kamu
benar, Har. Ceritanya panjang dan bukan saatnya aku katakan yang sesungguhnya
padamu. Kini, aku hanya harus menjaga adikku. Adikku sedang terbaring lemah.
Dia membutuhkanku. Jadi, tolong perkenankan aku pergi sekarang.”
“Dengar,
aku ini sahabatmu. Seharusnya kamu berterus terang padaku. Mengapa harus malu?
Jika hal ini menyakitkan dan kau tidak mau jujur, hal ini akan terasa lebih
menyakitkan. Sekarang katakan, mengapa kau seperti ini?”
“Baiklah
jika kau memaksaku. Har, aku itu seorang perampok suruhan. Bosku adalah seorang
mafia. Kemarin, waktu aku mendaftar bekerja di perusahaan itu, aku tidak
diterima. Aku kecewa, Har. Aku terpaksa melakukan hal ini demi adikku. Adikku
membutuhkan uang untuk kesembuhannya. Sekali lagi, aku terpaksa, Har”
“Mengapa
kau lakukan itu? Bukankah masih banyak pekerjaan yang seharusnya kau ambil di
dunia ini? Iya, aku tahu kau terpaksa, tapi mengapa kau ambil jalur yang
jelas-jelas haram? Kau juga bisa meminta pinjaman uang dariku, bukan? Itu tak
apa, tak masalah bagiku. Daripada kau harus berbuat keji”
“Maafkan
aku, Har. Aku sangat kecewa waktu itu. Kau tahu sendiri, adikku lah
satu-satunya hartaku saat ini”
“Sudah,
sudah. Begini saja, kau pakai uangku dahulu untuk membayar semua biaya rumah
sakit. Dan kau harus ingat, kau tak boleh mengulangi kekejian seperti ini.
Kejujuran adalah nomor satu. Hidupmu dapat menjadi petaka hanya karena sebutir
dusta dalam hati. Kau harus menjaga hatimu dari duri-duri kekejian yang dapat
menyerangmu setiap saat.” Yanto memeluk erat tubuhku. Aku merasakan kebahagiaan
merasuki tubuhnya. Aku juga melihat senyumnya terpancar lepas dari wajahnya.
“Terima
kasih, Har. Kau benar-benar sahabat terbaikku. Seharusnya aku bersyukur telah diberikan
seseorang yang begitu peduli pada diriku. Sekali lagi, makasih, Har” Senyumnya
kembali terukir. Senyum yang seakan menghapus kekecewaan yang ia rasakan. Aku
harap senyum itu terus terjaga hingga ia memejamkan mata untuk terakhir
kalinya.
Pituruh,
2 April 2017. 14.57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar