Laman

Jumat, 22 September 2017

Cerpen : "Bulan"



Bulan

Pikirku yang tak pernah berhenti mengingat masih diiringi tangisan hati yang terus menyesali.  Tubuh penuh dosa ini masih terduduk manis di samping meja yang penuh sobekan kertas putih tanpa tinta. Sesekali mereka dihinggapi kecoa-kecoa yang sangat menjijikan. Berbagai bekas botol minuman anggur yang sudah pecah serta aksesoris bergaya urban yang memenuhi seisi ruangan. Aku menyebut tempat itu “pelampiasan”. Semua keluh kesah selalu kutumpahkan ke dalamnya.
Ruangan itu seharusnya tidak pernah ada di kehidupanku. Namun, apa daya? Itu sudah terjadi dan akan menjadi sebuah kemustahilan ketika aku berpikir untuk kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya. Diriku yang dulu tak pernah lepas dari kehidupan liar. Tepatnya, seseorang yang tak pernah tahu di mana tempat yang seharusnya kucari untuk sebuah kebahagiaan.
Ruangan itu kembali terkunci. Aku tidak ingin memasukinya lagi. Untuk apa jika hanya membuatku menyesali terus menerus. Aku sudah punya tanggung jawab. Bukankah aku harus berhati-hati dari sebuah kehidupan yang dinamai dunia?
Sebuah jalan hidup yang berbeda semenjak ibuku meninggal. Ruangan itu kutinggalkan bersama semua rasa penyesalan yang selalu menempel pada diri ini. Aku ingin pergi jauh dari masa kelam itu. Aku ingin lepas dari banyak dosa yang telah kuperbuat pada hari-hari itu.
~{0}~
          Bayangan ini masih setia mengikuti langkahku bersama kebimbangan yang sedang kupendam. Masa depan yang masih menjadi tanda tanya besar selalu menghantui. Ke mana raga ini akan berlabuh setelah banyak keonaran yang kuperbuat? Aku sungguh tidak dapat menerkanya.
            Kulihat sekelompok anak sedang mengukir kisah masa kecilnya. Mereka beranggapan semua isi dunia ini akan menjadi miliknya. Mereka selalu ingin mengenali dunia lebih luas. Anak dalam masa itu memang ambisius.
            Aku ingin sekali kembali ke masa itu. Bermain, di mana adzan Ashar waktuku ke luar dan adzan Maghrib menjadi waktuku melangkahkan kaki untuk pulang. Salah satu memori kebahagiaan yang tak dapat kuulangi lagi saat ini
            “Mau ke mana, kak? Ayo main sini”, ucap seorang anak dengan wajah bahagia yang seolah mengajakku untuk bergabung bersama teman-temannya.
“Hai, boleh kok. Tapi, maaf sebentar aja ya?”, setidaknya jawaban itu membuatnya lega. Mereka belum pantas untuk bersedih. Senyum mereka harus selalu setia menemani kebahagiaannya.
Mereka membawaku ke sebuah rumah yang dindingnya dipenuhi lumut. Sebuah rumah tua tak beratap dan pintu tanpa engsel yang hanya bisa dibuka dengan cara mengangkatnya. Mereka bermain di tempat seperti ini? Sungguh, mereka merasakan kebahagiaan yang hakiki.
“Ayo masuk, kak.”, telapak tangannya menggenggam tanganku dan menariknya masuk ke rumah itu.
Sekitar delapan anak kuhitung. Namun, aku terkejut. Ternyata, delapan anak tersebut tidak hidup sendiri. Seorang wanita dewasa menemaninya di sini.
Aku melihatnya. Lalu dia memalingkan wajahnya dariku. Apa benar masih ada wanita yang seperti ini? Jilbab yang panjang menutupi rambutnya dan terlempar hingga lututnya. Di bawahnya, dia memakai rok yang panjang hingga menutupi kakinya. Sungguh baru sekali ini aku melihat wanita seanggun dirinya.
Dia lalu berjalan ke luar. Aku mengikutinya. Rasa penasaran mulai muncul di dalam diriku. Aku terus berjalan di belakangnya. Hingga dia berhenti dan duduk di sebuah kursi tak jauh dari rumah tua itu. Aku pun mendekatinya. Tapi, berapa pertanyaan yang harus kucari jawabannya tentang dia?
“Kamu siapa? Kok kamu mengikuti saya terus dari tadi”, kepalanya menunduk. Memang terlihat sekali keanggunannya.
“Saya hanya ingin mengenal kamu”, jawabku dengan perasaan malu.
“Pentingkah bagimu untuk mengenal saya?”. Mulutku kaku setelah mendengar jawaban sekaligus pertanyaannya. Aku tak tahu harus berkata apa lagi padanya.
“Baiklah, saya Annisa. Kamu?” matanya melirik ke arahku. Namun, kepalanya masih tertunduk.
“Saya Haidar. Salam kenal. Bolehkah saya tanya sesuatu?”, aku duduk di sampingnya. Dia bergeser sedikit menjauhiku.
“Tafadhol”, ia tersenyum namun dengan posisi kepala yang sama.
“Anak-anak itu siapa? Mengapa mereka hidup seperti itu? Lalu apa keterkaitan antara anak-anak itu denganmu?”
Dia menceritakan semuanya. Mulai dari dia bertemu pertama kali dengan sekelompok anak itu hingga ia memutuskan untuk menemani kehidupan mereka. Dia bercerita bahwa sekelompok anak itu adalah yatim piatu. Mereka tidak punya tempat tinggal pada saat itu. Lalu mereka berpikir rumah tua itu layak untuk ditempati. Kondisi yang hampir sama dengan dirinya. Dia merasa terpukul melihat sekelompok anak itu tetap menjalani kehidupan dengan tersenyum. Dia lalu memutuskan untuk tinggal bersama mereka, memenuhi semua kebutuhan mereka dan memastikan mereka mendapatkan haknya sebagai anak yatim piatu.
“Lalu, bagaimana denganmu? Apa kamu juga ada keterkaitan dengan mereka?” ia sedikit mengangkat kepalanya lalu menunduk lagi.
“Saya tadi melihat mereka di jalanan sedang bermain. Lalu salah satu dari mereka memanggil saya. Saya mendekati mereka lalu diajak ke rumah tua itu. Jadi, saya belum kenal betul siapa mereka.”
“Lalu, siapa dirimu?”
“Saya dulu seorang yang hobi keluar malam. Kehidupan saya dulu tidak jauh dari balapan liar, tawuran, narkotika dan lain-lain. Namun, semenjak ibu saya meninggal. Saya tersadar bahwa hidup itu sulit. Kondisi saya waktu itu sedang tidak ada uang sama sekali. Lalu, saya memutuskan untuk bekerja sebagai kuli bangunan di desa saya. Saya terus berusaha bekerja di manapun. Alhamdulillah, sekarang saya berwirausaha dan hasilnya lumayan.”
“Astaghfirullahal’adziim...”, wanita itu beranjak dari duduknya. Dengan tergesa-gesa ia pergi menjauhiku. Mungkin ia takut karena aku seorang yang dianggapnya kurang baik. Aku terdiam. Sebegitu burukkah diriku dalam pandangannya?
~{0}~
Aku melanjutkan perjalananku. Tiba-tiba hatiku memanggil sebuah nama dan terus mengulanginya. Panggilan itu disambut dengan bayangan tentangnya dalam pikiranku. Apakah hati ini telah jatuh tanpa tersandung? Dan jujur, aku baru kali ini mengalami perasaan yang orang sebut dengan cinta.
Tampak kurasa ada seseorang yang sedang mengikutiku. Dia sepertinya tak jauh dari tempatku berdiri. Kupandangi lingkungan sekitar, tak ada jawaban. Kupandangi pohon-pohon besar yang biasa ditempati seseorang untuk bersembunyi. Namun tetap saja, mereka tak menjawab.
“Kak, kakak mau ke mana? Tolong, kak. Jangan pergi dulu. Temani kami di sini”, suara seorang gadis kecil memecah keheningan.
“Iya, kak. Kasihan kak Annisa. Kami ingin membantunya. Tapi, mau bagaimana? Kami tak cukup mampu untuk meringankan pekerjaan kak Annisa”, kali ini suara itu disambut penegasan oleh anak lelaki. Tampaknya, mereka sangat menginginkan diriku untuk ikut tinggal bersamanya
            “Oke, deh kakak mau”, senyum mereka kembali mengembang. Mereka seperti menemukan teman baru dalam diriku.
            Mereka membawaku kembali ke rumah tua itu. Langkah kakinya disertai jingkrak-jingkrak kegirangan melengkapi tawa mereka. Aku bahagia melihat mereka merasakan kebahagiaan yang hakiki. Yang tulus dari hati, bukan yang hanya terlihat dengan sepasang mata saja.
            “Kak, Kak Annisa? Kak Haidar balik lagi.... Horee!”, lagi lagi dengan loncatan kaki manjanya, mereka selalu saja bisa membuat bibir ini tersenyum. Yang dikatakan Annisa memang benar. Mereka memiliki keistimewaan yang lebih daripada anak-anak pada umumnya. Mereka masih bisa bahagia meski tanpa ada kedua orang tuanya. Aku sungguh kagum dengan mereka.
            “Hai... Mengapa kamu balik lagi ke sini?”, kepalanya selalu saja tertunduk. Hingga saat ini, aku belum bisa melihat wajah cantik yang ia miliki. Dan aku yakin, dia seorang yang mempunyai hati yang bersih.
            “Jadi gini. Saat saya sudah dalam perjalanan pulang. Saya diikuti terus sama mereka. Saya tidak menyangka kalau mereka masih menginginkan saya di sini. Padahal, saya belum berbuat apa-apa untuknya”, mata ini masih betah memandang tingkah lucu anak-anak itu. Andai saja aku bisa tinggal bersama mereka dalam waktu lama. Walau di tempat yang tidak layak sekalipun.
            “Ya, mereka memang begitu. Mereka adalah keluarga kecil yang sangat suka dengan hal-hal baru, orang-orang yang baru mereka kenal sepertimu. Rasa kekeluargaan yang tinggi sudah tertanam di dalam masing-masing hati mereka. Dengan keburukan yang kamu miliki di masa lalu tak dapat mempengaruhi pandangan mereka tentangmu. Mereka tetap melihatmu sebagai sosok pria yang penuh dengan kasih sayang, pengorbanan dan ketulusan dalam menyayangi seseorang”, ia mulai berani memandang wajahku. Ia juga mulai berani mengeluarkan senyumnya.
            “Dari hadist riwayat Thabrani berkata barangsiapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim di antara dua orang tua muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya, maka ia pasti masuk surga. Dari situ saya yakin, di sinilah kehidupan saya.”, kata-kata itu menegaskan keshalihahannya sebagai seorang wanita.
“Begitu, kah? Alhamdulillah, saya dapat ilmu baru”, aku bangun dari dudukku. Annisa juga beranjak. Aku lihat anak-anak itu mendekati kami sambil membawa sepotong kue untuk diberikan.
“Nih, kak. Kue buat kak Haidar dan juga kak Annisa. Dimakan ya, kak?”, tawar salah satu anak sambil mengulurkan tangannya. Kami pun menerima pemberian dari mereka lalu memakannya bersama.
~{0}~
“An, bolehkah saya mengatakan sesuatu?”, tanyaku bersama guncangan hati yang terus membuat lisan ini sulit mengungkap.
“Tafadhol... Mau tanya apa?”, kembali ia menundukkan pandangannya lalu membalikkan badan. Apakah ia akan menghindar lagi? Kuharap tidak.
“Apakah wajib bagi seorang pria yang terlanjur mencintai teman perempuannya, langsung mengkhitbah teman perempuannya itu? Apakah wajib mengutarakan perasaan cinta pada perempuan yang dicintai?”, kali ini aku merasa takut akan jawaban darinya.
“Menurut hadist yang pernah saya baca, intinya seorang pria setelah mengutarakan perasaannya, ia harus secepatnya mengkhitbah wanita itu. Jangan buat wanita menunggu terlalu lama.”, dengan penuh keyakinan, ia mantap menjawab pertanyaanku yang tadi.
“Jadi, kalau saya mencintaimu, saya harus segera melamarmu? Kalau itu memang hukumnya, in syaa Allah saya siap menjalankannya”, ia terkejut bukan kepalang. Ia tak menyangka betapa beraninya aku mengatakan itu padanya. Aku sendiri terkejut melihat wajahnya. Ia nampak cemas dan seperti tak tahu harus berbuat apa.
“Saya memang bukan orang baik. Saya adalah bekas pembuat onar. Tetapi, saya mempunyai tekad yang kuat untuk berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kamu lihat anak-anak itu? Mereka benar-benar mengajarkan apa arti kebahagiaan sebenarnya. Mereka juga mengajarkan bahwa ketulusan hanya berasal dari hati. Saya ingin mewujudkan semua itu. Saya ingin hidup bersamamu di rumah tua ini, bersama mereka juga. Berikan saya kesempatan”, mata Annisa berkaca-kaca. Air matanya sudah tidak dapat ditahan lagi. Air matanya semakin deras setelah ia melihat anak-anak itu menangis.
“Kamu mencintai saya? Saya tidak bisa mengelaknya. Jujur, saya kagum dengan keberanian kamu. Saya rasa kamu berhasil membuat saya yakin atas semua ucapanmu tadi. Tetapi, tolong sekali lagi, cintai saya karena Allah. Cintai penciptanya dahulu, baru makhluk-Nya. Baiklah, saya menerima khitbahmu” senyumnya terpancar membelah kedua pipinya. Matanya yang masih berkaca-kaca seolah tak ingin berhenti mengeluarkan airnya. Akhirnya, saya menemukan sebuah keluarga kecil. Dua buah bulan yang menyinari, anak-anak dan Annisa.

Pituruh, 10 September 2017. 22.50

Minggu, 18 Juni 2017

Cerpen : "Smiling Tears"

Smiling Tears

            Dia itu sesuatu. Sesuatu yang mengajarkanku betapa berharganya setetes air mata. Sesuatu yang mengguruiku tentang sebuah keharusan air mata untuk tidak terjatuh. Namun aku tahu, meskipun tampak bahagia, dia rapuh di dalam.
Sekilas untaian kata dariku tentangnya. Dia berbeda dengan wanita pada umumnya. Berselimut wajah bahagia, dia terus berusaha menutupi luka masih berdiam di kalbunya. Fadilla Ramadhana, nama yang aku sebut dalam setiap doaku. Nama yang akan selalu ku janjikan. Nama yang ingin ku bawa keluar dari sumur lara.
“Dil, kamu siap-siap. Ada yang ingin bertemu denganmu besok”,
“Siapa? Tumben sekali ada yang mencari saya”, wajahnya penuh tanda tanya.
“Sudahlah, tak usah banyak tanya. Saya yakin kamu pasti senang bertemu dengannya.” balasku kepadanya.
“Hmm..., oke. Tapi, saya harus apa? Apa saya harus berdandan rapi? Saya betul-betul penasaran”, ia masih diselimuti rasa penasaran yang tinggi.
“Tak usah berdandan kamu pun tetap cantik. Toh, dia masih ingin kamu yang apa adanya. Sekarang, beristirahatlah. Tersenyumlah sebelum tidur agar mimpimu indah. Allah menyaksikanmu. Jadi, jangan lupa berdoa.”, aku selalu berusaha menampakkan senyumanku di hadapannya. Dia membutuhkan senyum orang-orang yang di dekatnya. Karena aku tahu dia rapuh. Aku pun selalu ingin lekukan itu juga tampak di wajahnya.
“Ah, kamu bisa saja. Hati-hati jalan pulang. Allah juga menyaksikanmu.”, ia membalasku dengan senyuman khas yang membuatku akan selalu mengingatnya.
“Ya sudah, saya pulang dulu. Assalamu’alaikum..”
Dia punya banyak bahagia yang masih mendekam dalam hatinya. Aku ingin mengeluarkan semua itu. Karena dengan senyum yang ia tampakkan, aku bahagia.
~{0}~
“Assalamu’alaikum, Bu. Azhar pulang”, aku mengetuk pintu rumahku.
“Wa’alaikumussalam, Nak. Ayo masuk, Nak. Ibu sudah siapkan sayur sop kesukaanmu”, senyumnya seakan memintaku untuk duduk diam di kursi yang ada di sekitar meja makan.
“Wahh.... Pas banget. Kebetulan saya sedang suka sama sayur sop, apalagi ini buatan ibu. Pasti rasanya enak dan saya sudah merindukannya sejak lama”
“Ah, bisa saja kamu, nak. Oh iya, bagaimana hubunganmu dengan dia?”, Ibu menunjukkan keseriusannya. Siapa yang ibu maksud?
“Dia siapa ya, Bu?”, aku mengerutkan kening yang sedikit bermandikan keringat. Dalam otakku, seribu tanda tanya menggantung menanti jawaban.
“Sudahlah, jangan mencoba untuk berbohong pada ibu. Nak, kau sedang jatuh cinta, bukan?”, tangannya masih memegang pisau yang baru saja beliau gunakan untuk mengupas kulit kentang.
Mengapa tiba-tiba beliau bertanya seperti itu? Memang benar, akhir-akhir ini senyum gadis itu selalu terpampang di depan wajahku. Tetapi, ibu tahu dari mana? Sedangkan aku saja belum menyimpulkan sendiri tentang perasaanku pada gadis itu.
            “Ah, ibu ada-ada saja. Dia kan sahabatku, Bu. Mana mungkin saya jatuh cinta padanya? Lagipula, saya sudah berjanji untuk tidak menyakitinya. Dia itu sudah punya pujaan hati. Dan yang jelas, itu bukan saya”, aku beruntung masih dapat mengelak dari ibu. Tetapi, aku benar-benar menyesal telah membohonginya.
            “Ya sudahlah. Tak apa kalau kamu tidak ingin jujur pada ibumu, Nak. Sesungguhnya, ibumu adalah orang yang paling tahu segala hal tentang dirimu. Jadi, jangan coba-coba berbohong pada ibu”, senyumnya menghujam batinku. Matanya seolah membunuhku. Ia sangat yakin kalau aku sedang berbohong padanya
            Maaf ibu, aku bukan ingin mencoba membohongimu. Ini bukan waktu yang tepat bagiku. Aku masih ingin merahasiakannya. Aku masih tidak tega apabila ibu sedih ketika mendengar ini, karena aku tahu bahwa seorang ibu dapat merasakan sakit hati yang dirasakan oleh anaknya. Ibu, izinkan aku menyembunyikannya sebentar saja dan aku janji, aku akan beritahu ibu kelak.
~{0}~
            Dering handphone-ku berbunyi. Seseorang meneleponku. Tertera nama yang sangat familiar di layar. Zaynal, sahabat karibku yang sedang merantau di ibukota. Sosok yang mengajariku banyak hal. Dia sudah lama tidak pulang ke kampung halamannya. Hari ini, dia akan kembali ke sini.
            “Halo. Assalamu’alaikum, Har”, Zaynal memulai perbincangan jarak jauh ini.
            “Wa’alaikumussalam, Nal. Kamu jadi pulang, bukan? Jangan coba-coba lupa pada janjimu kemarin. 14 Mei, di tanggal itu kau akan pulang. Lagipula, seseorang sedang menantimu di sini. Jadi, jangan kecewakan dia, ya?”.
            “Iya iya. Kamu jangan khawatir begitu. Saya akan menepati janji. Oh iya, siapa yang kamu maksud?”
            “Nanti kamu tahu sendiri. Kamu mau saya jemput jam berapa? Mumpung saya sedang tidak sibuk dan saya juga sudah menantikan pertemuan kita”
            “Ah, bisa saja kamu. Oke, jemput saya di stasiun jam 09.00, ya? Saya akan kabari lagi nanti. Wassalamu’alaikum”
            “Oke, siap, pak bos! Wa’alaikumussalam. Hati-hati”
            Handphone ini kumatikan. Bicara tentang Zaynal, dia dulunya siswa terbaik di SMP-ku. Nilainya begitu memuaskan. Terlebih lagi, dirinya sangat bertanggung jawab. Ia sangat risih ketika aku ataupun temannya melakukan sesuatu seenaknya. Dia bahkan pernah memarahiku berjam-jam karena kelalaianku. Dia juga pernah berselisih paham denganku hanya karena seekor ulat. Sungguh, pengalaman yang tak bisa kulupakan.
Namun, ada satu hal yang aku benci darinya. Dia terlalu mudah untuk mencintai orang lain. Hal ini yang membuatku khawatir akan kesetiaannya pada Dilla. Bagaimanapun juga, aku bertanggung jawab atas kebahagiaan mereka dan aku enggan melihat mereka berpisah lebih dini hanya karena keraguan yang menyelimuti mereka. Apalagi, jarak telah memisahkan raga mereka cukup lama. Aku selalu berkata pada Dilla bahwa jarak yang akan menguatkan mereka. Aku juga selalu berkata padanya bahwa dia akan bahagia, kapanpun waktunya.
Jam tanganku telah menunjukkan pukul 08.00. Itu artinya, aku harus segera bersiap untuk menjemput Zaynal. Segera kupakai celana panjang dan kemeja yang belum sempat aku seterika. Serta sepatu dengan sedikit sobekan kecil di bagian depan dan bagian dalam. Aku memang sedikit tak peduli tentang penampilanku. Bagiku, penampilan tetap saja tidak dapat merubah nasib. Don’t judge a book by its cover. Lagipula, dengan penampilan seperti ini pun, aku masih terlihat tampan. Sombong sedikit masih bisa dimaafkan, ya?.
Aku langsung menemui ibu. “Bu, saya pergi sebentar. Saya hendak menjemput Zaynal di stasiun. Dia datang hari ini hendak menemui saya dan Dilla. Maklum lah, bu. Kami sudah lama tidak bertemu.”
“Oh, ya sudah. Jangan lupa membawa bingkisan pada mereka. Ini kan kesempatan yang sangat jarang. Dan segera kau mengatakan perasaanmu ke Dilla. Jangan ditunda-tunda.”
“Ih, ada apa sih, bu? Kenapa ibu suka sekali membahas Dilla? Dia itu hanya sahabatku, bu. Tolong ibu jangan melebih-lebihkan.”
“Haha, terserah kamu. Ya sudah, cepat! Nanti terlambat kamu jemput Zaynal.” Ibu tertawa kecil lalu memposisikan matanya ke arahku.
“Ya sudah, saya berangkat sekarang, bu. Assalamu’alaikum..”
            “Wa’alaikumussalam, nak. Hati-hati”
            Lagi-lagi ibu membahas tentang Dilla. Mengapa harus dia? Tapi, benar juga ucapannya. Sebaiknya aku cepat-cepat mengutarakan perasaanku pada Dilla. Tunggu, perasaan apa? Apakah aku mencintainya? Apakah aku terlambat menyadari hadirnya rasa ini? Entahlah. Mau cinta atau tidak, aku harus tetap membahagiakannya. Itu sudah menjadi tanggung jawabku. Aku juga sudah berjanji padanya. Sebaiknya aku fokus pada janjiku padanya terlebih dahulu. Lagipula, aku tidak begitu yakin tentang perasaan yang kusimpan untuknya.
Tak habis pikir memikirkan soal itu. Membingungkan, semuanya berubah menjadi sesuatu yang membingungkan. Perasaan ini dapat dengan mudah menaik turunkan emosiku. Jika benar, mengapa harus aku yang merasakan ini? Ini benar-benar di luar dugaanku.
Aku mengeluarkan handphone dari saku celanaku. Aku belum mengabari Zaynal soal keberangkatanku. Aku harus mengabarinya agar tak terjadi hal yang tidak-tidak. Aku putuskan hanya mengirimnya sebuah pesan singkat dengan harapan dia membacanya.
Aku kembali melanjutkan perjalananku. Ditemani cahaya matahari yang mulai naik dari ufuk timur. Tidak ketinggalan, suara kicauan burung menambah kehangatan pagi. Terdengar pula suara anak-anak desa sedang bernyanyi dan bergembira. Mereka selalu saja punya cara untuk bahagia. Mereka menemukan kebahagiaan itu dengan cara yang sederhana. Tidak muluk-muluk, dan cukup hanya dengan bermain, menari, dan tertawa bersama.
Setibanya di stasiun, aku duduk di kursi tunggu. Kulihat kembali handphone-ku yang aku letakkan di saku celana. Aku berniat menghubungi Zaynal, bahwa aku telah sampai di stasiun sambil berharap tak terjadi apa-apa padanya. Karena pesan singkatku sedari tadi juga belum dibalas.
“Aduh, bagaimana ini? Belum diangkat juga.”, gumamku sambil mondar mandir kesana kemari menanti kabar dari Zaynal. Aku coba menghubungi dia lagi.
“Iya, halo. Assalamu’alaikum, ris. Maaf baru buka HP. Barusan ketiduran”, suaranya terdengar berat. Aku semakin yakin kalau dia memang baru saja tertidur.
“Wa’alaikumussalam. Owalah ketiduran ternyata. Saya kira kamu kenapa-kenapa. Sampai mana? Berapa menit lagi kira-kira keretamu sampai di sini?”
“Di tiketnya sih sekitar jam 09.18. Ya, paling tidak lima menit lagi. Kamu tunggu saja di sana. Oh iya, Dilla tahu tidak kalau aku hari ini pulang?”
“Kalau soal itu, saya belum kasih tahu. Hitung-hitung kejutan saja. Dia berharap sekali kamu bisa pulang ke sini.”
“Jadi, kamu belum kasih tahu dia? Ya sudahlah, tak apa. Ceritanya nanti saja, ya? Pulsaku tinggal sedikit. Wassalamu’alaikum..”
“Haha.. Ada-ada saja. Lha wong mau pulang kok tidak menyiapkan pulsa dulu. Ya sudah, wa’alaikumussalam..”
~{0}~
“Jadi begini, Har. Saya itu sudah punya kekasih lagi. Saya itu sudah tidak tahan ingin memiliki dia. Maaf kalau saya baru bilang sekarang. Ingat, ya, tadi kamu sudah berjanji untuk jaga rahasia saya. Lagipula, aku lebih berhak memberitahu Dilla soal ini.”, aku terkejut mendengar perkataannya. Mataku terbelalak. Terbayang betapa sedihnya kalau Dilla sampai tahu soal ini. Dalam hati, aku seperti tidak bisa memaafkan Zaynal. Tetapi, di satu sisi pula, aku merasa senang mendengar kabar darinya. Ada apa denganku? Apakah ini perasaan yang sering ibu singgung ketika membicarakan Dilla? Arrgghhh... Ini sungguh aneh.
“Kenapa kamu melakukan hal itu? Bukankah kamu sudah berjanji pada Dilla untuk selalu setia padanya? Saya masih belum siap untuk melihatnya menangis, Nal. Baiklah, saya tidak akan memberitahu rahasiamu ke Dilla. Tapi, kau harus bertanggung jawab atas semua kekecewaannya setelah kau beritahu soal ini. Saya pergi dulu”
Aku berlalu dari Zaynal. Dia benar-benar gila. Dia sama sekali tak memikirkan gadis itu. Sekarang, apa yang lebih buruk dari air matanya?
 Aku kecewa padamu, Nal. Aku kira kau sosok yang pas untuk membahagiakannya. Tetapi, ternyata.. Aku benci caramu membuatnya bersedih. Kau bukan pria sejati. Kau dengan tega menyakiti gadis yang benar-benar mencintaimu. Kau membuatnya mengeluarkan air mata.
“Har, tunggu! Kau tak lupa pada janji kalau kamu akan menjemput saya, bukan? Maafkan saya yang telah membuatmu kecewa. Saya janji akan bertanggung jawab atas kekecewaan Dilla. Saya akan buat dia tersenyum lagi. Tolong bantu saya untuk menemuinya sekarang. Ini waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Tolong saya, Har”, matanya berkaca-kaca, bersiap mengeluarkan tetesannya. Wajahnya yang dipenuhi rasa bersalah itu menunduk ke lantai. Air matanya pun kini telah jatuh dan membekas di pipinya.
Aku menjulurkan tanganku ke hadapannya. Hingga ia menggerakkan kepalanya ke atas. Senyumnya kembali mengembang. Perlahan, dia kembali mendapatkan kepercayaanku yang baru saja hilang ditelan kekecewaan yang aku alami.
“Bangunlah... Walaupun saya kecewa. Saya akan tetap menghormati air matamu yang telah terjatuh. Karena saya sadar, saya itu masih sahabatmu yang bertanggung jawab atas kebahagiaanmu juga. Kamu masih punya kesempatan, Nal. Bayarlah dengan kesungguhan hati”
“Terima kasih, Har. Saya beruntung bisa bersahabat dengan sosok pemaaf sepertimu”, ia membangkitkan senyumannya. Dengan cepat, ia lalu memeluk erat tubuhku. Tetapi, raga ini menolak. Bagaimanapun juga raga ini adalah saksi bisu kekecewaan yang hatiku rasakan. Rasa kecewa ini masih belum beranjak.
“Ya sudah, kita ke rumah Dilla sekarang. Ingat! Jangan buat dia kecewa, ya? Saya pegang omongan kamu, Nal”
~{0}~
“Assalamu’alaikum....”, aku mengetuk pintu rumahnya. Seseorang terlihat berjalan dari dalam rumah. Dibukalah pintu rumahnya yang sudah cukup termakan usia.
“Wa’alaikumussalam... Eh, kamu ternyata. Ayo masuk”, senyumnya yang manis seakan memintaku untuk ikut masuk bersamanya. Dilla, ia tampak cantik. Cantik sekali. Aku tak pernah melihatnya sampai seperti ini. Apa yang membuat mata ini betah memandangnya? Pipinya yang agak tembem semakin meyakinkan pandanganku. Ahh tidak tidak! Aku tidak boleh jatuh cinta padanya.
“Emm... Sebentar. Kamu melupakannya. Semalam kan saya bilang kalau ada seseorang yang ingin menemuimu. Dan dia sudah berada di sini. Apa kamu tidak merasakan kehadirannya?”, lisanku menyanggah pandanganku tadi. Ia rupanya sepaham dengan otakku yang tak ingin mataku terlalu lama memujinya.
“Oh, iya. Saya lupa. Sebenarnya siapa dia? Saya penasaran”
“Dia itu seseorang yang telah lama kamu harapkan. Dia kembali dengan banyak cerita yang sangat ingin disampaikannya kepadamu. Dia lah orang yang kamu cintai. Zaynal pulang, Dil”, senyuman manisnya semakin menjadi. Ia tampak bahagia. Sudah lama sekali aku tak melihatnya sebahagia ini.
Tiba-tiba aku ingat sesuatu bahwa sebenarnya Zaynal pulang membawa kabar buruk yang akan ditujukan pada Dilla. Aku harus bersiap melihatnya menangis lagi, lagi dan lagi. Bahkan sekedar untuk bersiap, membayangkannya saja sudah tersiksa. Sebagai sahabat, apakah kegagalan itu kembali menghinggap di diriku? Apakah aku akan gagal lagi mempersatukan mereka, membahagiakan mereka? Sungguh, aku tak akan dapat bangun dari sebuah kegagalan.
            Kebahagiaan di sebuah hubungan yang kita jalani harus dapat dirasakan oleh setiap pelaku hubungan tersebut. Canda, tawa dan senda gurau sudah seharusnya menemani hari-hari kita. Kita tak perlu mewah untuk mewujudkan sebuah kebahagiaan itu. Kita hanya butuh sebuah kepercayaan dan kesetiaan yang tertanam di hati masing-masing. Serta membutuhkan komitmen untuk saling membahagiakan satu sama lain agar persahabatan kita terasa sempurna.
~{0}~
“Har, saya sudah berterus terang padanya. Sekarang, hanya kamu yang berhak menghapus air matanya. Dan kau harus lakukan itu. Saya tahu ketulusan cintamu padanya. Kamu sama sekali tak ingin melihat dirinya jauh dari kebahagiaan, bukan? Pergilah! Dia membutuhkanmu”, Zaynal membawaku ke Dilla. Dia mempersilakanku masuk menemani Dilla. Aku melihat air matanya mengalir deras. Batinku sangat tersiksa melihat hal itu. Teringin sekali aku menghapus air matanya dan membuat lekukan itu kembali tersungging di antara kedua pipinya yang tembem.
“Zaynal, apa yang kamu lakukan pada Dilla? Lalu mengapa kau mempersilakan saya untuk menghapus air matanya.”
“Dia membutuhkan seseorang yang benar-benar tulus mencintai dirinya. Dan sosok itu adalah Azhar. Iya itu kamu. Kamu punya kesempatan untuk selalu membuatnya tersenyum. Jadi, berbahagialah dengannya”, Zaynal menepuk pundakku. Ia pun tersenyum yang menandakan ia telah merelakan semuanya padaku. Senyum itu juga tanda bahwa ia telah menyerahkan kepercayaannya padaku.
“Terima kasih, Nal.”, kali ini ragaku sangat ingin memeluknya. Kekecewaan yang sempat aku rasakan tadi seakan menghilang begitu saja. Ya Allah, terima kasih. Kau masih menginginkan persahabatan kami tetap hidup.
“Sama-sama. Sudah saya bilang. Saya akan menepati janji itu. Saya akan membahagiakannya. Dan saya sudah lakukan semua itu. Dia bahagia bersamamu. Sekarang, kau boleh panggil saya lelaki.”
“Haha... Masih bisa sombong juga ternyata. Saya juga janji akan membahagiakan Dilla. Terima kasih sudah mempermudah jalan dalam meraih tujuanku itu.”
Aku bergegas menemui Dilla. Mengutarakan semua yang ada di hatiku. Kuhembuskan nafas cinta di telinga kanannya. Kubisikkan kata sahabat di telinga kirinya. Bagaimanapun, persahabatan juga tetap harus dijaga. Komitmenku padanya adalah sebagai seorang sahabat. Akhirnya, aku dapat memulai kebahagiaan bersamanya.
I love you, always. I will never ask for more than your smile. Because the time when I felt happy is the time when I saw your smile. Be a smiling one, please...

Pituruh, 2 Juni 2017. 16.41