Bulan
Pikirku yang tak pernah berhenti mengingat
masih diiringi tangisan hati yang terus menyesali. Tubuh penuh dosa ini masih terduduk manis di
samping meja yang penuh sobekan kertas putih tanpa tinta. Sesekali mereka
dihinggapi kecoa-kecoa yang sangat menjijikan. Berbagai bekas botol minuman
anggur yang sudah pecah serta aksesoris bergaya urban yang memenuhi seisi
ruangan. Aku menyebut tempat itu “pelampiasan”. Semua keluh kesah selalu
kutumpahkan ke dalamnya.
Ruangan itu seharusnya tidak pernah ada di kehidupanku.
Namun, apa daya? Itu sudah terjadi dan akan menjadi sebuah kemustahilan ketika
aku berpikir untuk kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya. Diriku yang
dulu tak pernah lepas dari kehidupan liar. Tepatnya, seseorang yang tak pernah
tahu di mana tempat yang seharusnya kucari untuk sebuah kebahagiaan.
Ruangan itu kembali terkunci. Aku tidak ingin
memasukinya lagi. Untuk apa jika hanya membuatku menyesali terus menerus. Aku
sudah punya tanggung jawab. Bukankah aku harus berhati-hati dari sebuah
kehidupan yang dinamai dunia?
Sebuah jalan hidup yang berbeda semenjak ibuku
meninggal. Ruangan itu kutinggalkan bersama semua rasa penyesalan yang selalu
menempel pada diri ini. Aku ingin pergi jauh dari masa kelam itu. Aku ingin
lepas dari banyak dosa yang telah kuperbuat pada hari-hari itu.
~{0}~
Bayangan ini masih setia mengikuti langkahku bersama
kebimbangan yang sedang kupendam. Masa depan yang masih menjadi tanda tanya
besar selalu menghantui. Ke mana raga ini akan berlabuh setelah banyak keonaran
yang kuperbuat? Aku sungguh tidak dapat menerkanya.
Kulihat sekelompok anak sedang
mengukir kisah masa kecilnya. Mereka beranggapan semua isi dunia ini akan
menjadi miliknya. Mereka selalu ingin mengenali dunia lebih luas. Anak dalam
masa itu memang ambisius.
Aku ingin sekali kembali ke masa
itu. Bermain, di mana adzan Ashar waktuku ke luar dan adzan Maghrib menjadi
waktuku melangkahkan kaki untuk pulang. Salah satu memori kebahagiaan yang tak
dapat kuulangi lagi saat ini
“Mau ke mana, kak? Ayo main sini”,
ucap seorang anak dengan wajah bahagia yang seolah mengajakku untuk bergabung
bersama teman-temannya.
“Hai, boleh kok.
Tapi, maaf sebentar aja ya?”, setidaknya jawaban itu membuatnya lega. Mereka
belum pantas untuk bersedih. Senyum mereka harus selalu setia menemani
kebahagiaannya.
Mereka membawaku ke
sebuah rumah yang dindingnya dipenuhi lumut. Sebuah rumah tua tak beratap dan
pintu tanpa engsel yang hanya bisa dibuka dengan cara mengangkatnya. Mereka
bermain di tempat seperti ini? Sungguh, mereka merasakan kebahagiaan yang
hakiki.
“Ayo masuk, kak.”,
telapak tangannya menggenggam tanganku dan menariknya masuk ke rumah itu.
Sekitar delapan anak
kuhitung. Namun, aku terkejut. Ternyata, delapan anak tersebut tidak hidup
sendiri. Seorang wanita dewasa menemaninya di sini.
Aku melihatnya. Lalu
dia memalingkan wajahnya dariku. Apa benar masih ada wanita yang seperti ini?
Jilbab yang panjang menutupi rambutnya dan terlempar hingga lututnya. Di
bawahnya, dia memakai rok yang panjang hingga menutupi kakinya. Sungguh baru
sekali ini aku melihat wanita seanggun dirinya.
Dia lalu berjalan ke
luar. Aku mengikutinya. Rasa penasaran mulai muncul di dalam diriku. Aku terus
berjalan di belakangnya. Hingga dia berhenti dan duduk di sebuah kursi tak jauh
dari rumah tua itu. Aku pun mendekatinya. Tapi, berapa pertanyaan yang harus
kucari jawabannya tentang dia?
“Kamu siapa? Kok kamu
mengikuti saya terus dari tadi”, kepalanya menunduk. Memang terlihat sekali
keanggunannya.
“Saya hanya ingin
mengenal kamu”, jawabku dengan perasaan malu.
“Pentingkah bagimu
untuk mengenal saya?”. Mulutku kaku setelah mendengar jawaban sekaligus
pertanyaannya. Aku tak tahu harus berkata apa lagi padanya.
“Baiklah, saya
Annisa. Kamu?” matanya melirik ke arahku. Namun, kepalanya masih tertunduk.
“Saya Haidar. Salam kenal.
Bolehkah saya tanya sesuatu?”, aku duduk di sampingnya. Dia bergeser sedikit
menjauhiku.
“Tafadhol”, ia
tersenyum namun dengan posisi kepala yang sama.
“Anak-anak itu siapa?
Mengapa mereka hidup seperti itu? Lalu apa keterkaitan antara anak-anak itu
denganmu?”
Dia menceritakan
semuanya. Mulai dari dia bertemu pertama kali dengan sekelompok anak itu hingga
ia memutuskan untuk menemani kehidupan mereka. Dia bercerita bahwa sekelompok
anak itu adalah yatim piatu. Mereka tidak punya tempat tinggal pada saat itu.
Lalu mereka berpikir rumah tua itu layak untuk ditempati. Kondisi yang hampir
sama dengan dirinya. Dia merasa terpukul melihat sekelompok anak itu tetap
menjalani kehidupan dengan tersenyum. Dia lalu memutuskan untuk tinggal bersama
mereka, memenuhi semua kebutuhan mereka dan memastikan mereka mendapatkan
haknya sebagai anak yatim piatu.
“Lalu, bagaimana
denganmu? Apa kamu juga ada keterkaitan dengan mereka?” ia sedikit mengangkat
kepalanya lalu menunduk lagi.
“Saya tadi melihat
mereka di jalanan sedang bermain. Lalu salah satu dari mereka memanggil saya.
Saya mendekati mereka lalu diajak ke rumah tua itu. Jadi, saya belum kenal
betul siapa mereka.”
“Lalu, siapa dirimu?”
“Saya dulu seorang
yang hobi keluar malam. Kehidupan saya dulu tidak jauh dari balapan liar,
tawuran, narkotika dan lain-lain. Namun, semenjak ibu saya meninggal. Saya
tersadar bahwa hidup itu sulit. Kondisi saya waktu itu sedang tidak ada uang
sama sekali. Lalu, saya memutuskan untuk bekerja sebagai kuli bangunan di desa
saya. Saya terus berusaha bekerja di manapun. Alhamdulillah, sekarang saya
berwirausaha dan hasilnya lumayan.”
“Astaghfirullahal’adziim...”,
wanita itu beranjak dari duduknya. Dengan tergesa-gesa ia pergi menjauhiku.
Mungkin ia takut karena aku seorang yang dianggapnya kurang baik. Aku terdiam.
Sebegitu burukkah diriku dalam pandangannya?
~{0}~
Aku melanjutkan
perjalananku. Tiba-tiba hatiku memanggil sebuah nama dan terus mengulanginya.
Panggilan itu disambut dengan bayangan tentangnya dalam pikiranku. Apakah hati
ini telah jatuh tanpa tersandung? Dan jujur, aku baru kali ini mengalami
perasaan yang orang sebut dengan cinta.
Tampak kurasa ada
seseorang yang sedang mengikutiku. Dia sepertinya tak jauh dari tempatku
berdiri. Kupandangi lingkungan sekitar, tak ada jawaban. Kupandangi pohon-pohon
besar yang biasa ditempati seseorang untuk bersembunyi. Namun tetap saja,
mereka tak menjawab.
“Kak, kakak mau ke
mana? Tolong, kak. Jangan pergi dulu. Temani kami di sini”, suara seorang gadis
kecil memecah keheningan.
“Iya, kak. Kasihan
kak Annisa. Kami ingin membantunya. Tapi, mau bagaimana? Kami tak cukup mampu
untuk meringankan pekerjaan kak Annisa”, kali ini suara itu disambut penegasan
oleh anak lelaki. Tampaknya, mereka sangat menginginkan diriku untuk ikut
tinggal bersamanya
“Oke,
deh kakak mau”, senyum mereka kembali mengembang. Mereka seperti menemukan
teman baru dalam diriku.
Mereka
membawaku kembali ke rumah tua itu. Langkah kakinya disertai jingkrak-jingkrak
kegirangan melengkapi tawa mereka. Aku bahagia melihat mereka merasakan
kebahagiaan yang hakiki. Yang tulus dari hati, bukan yang hanya terlihat dengan
sepasang mata saja.
“Kak,
Kak Annisa? Kak Haidar balik lagi.... Horee!”, lagi lagi dengan loncatan kaki
manjanya, mereka selalu saja bisa membuat bibir ini tersenyum. Yang dikatakan
Annisa memang benar. Mereka memiliki keistimewaan yang lebih daripada anak-anak
pada umumnya. Mereka masih bisa bahagia meski tanpa ada kedua orang tuanya. Aku
sungguh kagum dengan mereka.
“Hai...
Mengapa kamu balik lagi ke sini?”, kepalanya selalu saja tertunduk. Hingga saat
ini, aku belum bisa melihat wajah cantik yang ia miliki. Dan aku yakin, dia
seorang yang mempunyai hati yang bersih.
“Jadi
gini. Saat saya sudah dalam perjalanan pulang. Saya diikuti terus sama mereka.
Saya tidak menyangka kalau mereka masih menginginkan saya di sini. Padahal,
saya belum berbuat apa-apa untuknya”, mata ini masih betah memandang tingkah
lucu anak-anak itu. Andai saja aku bisa tinggal bersama mereka dalam waktu
lama. Walau di tempat yang tidak layak sekalipun.
“Ya,
mereka memang begitu. Mereka adalah keluarga kecil yang sangat suka dengan
hal-hal baru, orang-orang yang baru mereka kenal sepertimu. Rasa kekeluargaan
yang tinggi sudah tertanam di dalam masing-masing hati mereka. Dengan keburukan
yang kamu miliki di masa lalu tak dapat mempengaruhi pandangan mereka
tentangmu. Mereka tetap melihatmu sebagai sosok pria yang penuh dengan kasih
sayang, pengorbanan dan ketulusan dalam menyayangi seseorang”, ia mulai berani
memandang wajahku. Ia juga mulai berani mengeluarkan senyumnya.
“Dari
hadist riwayat Thabrani berkata barangsiapa yang mengikutsertakan seorang anak
yatim di antara dua orang tua muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga
mencukupinya, maka ia pasti masuk surga. Dari situ saya yakin, di sinilah
kehidupan saya.”, kata-kata itu menegaskan keshalihahannya sebagai seorang
wanita.
“Begitu, kah? Alhamdulillah, saya dapat ilmu
baru”, aku bangun dari dudukku. Annisa juga beranjak. Aku lihat anak-anak itu
mendekati kami sambil membawa sepotong kue untuk diberikan.
“Nih, kak. Kue buat kak Haidar dan juga kak
Annisa. Dimakan ya, kak?”, tawar salah satu anak sambil mengulurkan tangannya.
Kami pun menerima pemberian dari mereka lalu memakannya bersama.
~{0}~
“An, bolehkah saya
mengatakan sesuatu?”, tanyaku bersama guncangan hati yang terus membuat lisan
ini sulit mengungkap.
“Tafadhol... Mau
tanya apa?”, kembali ia menundukkan pandangannya lalu membalikkan badan. Apakah
ia akan menghindar lagi? Kuharap tidak.
“Apakah wajib bagi
seorang pria yang terlanjur mencintai teman perempuannya, langsung mengkhitbah
teman perempuannya itu? Apakah wajib mengutarakan perasaan cinta pada perempuan
yang dicintai?”, kali ini aku merasa takut akan jawaban darinya.
“Menurut hadist yang
pernah saya baca, intinya seorang pria setelah mengutarakan perasaannya, ia
harus secepatnya mengkhitbah wanita itu. Jangan buat wanita menunggu terlalu
lama.”, dengan penuh keyakinan, ia mantap menjawab pertanyaanku yang tadi.
“Jadi, kalau saya
mencintaimu, saya harus segera melamarmu? Kalau itu memang hukumnya, in syaa
Allah saya siap menjalankannya”, ia terkejut bukan kepalang. Ia tak menyangka
betapa beraninya aku mengatakan itu padanya. Aku sendiri terkejut melihat
wajahnya. Ia nampak cemas dan seperti tak tahu harus berbuat apa.
“Saya memang bukan
orang baik. Saya adalah bekas pembuat onar. Tetapi, saya mempunyai tekad yang
kuat untuk berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kamu lihat anak-anak
itu? Mereka benar-benar mengajarkan apa arti kebahagiaan sebenarnya. Mereka
juga mengajarkan bahwa ketulusan hanya berasal dari hati. Saya ingin mewujudkan
semua itu. Saya ingin hidup bersamamu di rumah tua ini, bersama mereka juga. Berikan
saya kesempatan”, mata Annisa berkaca-kaca. Air matanya sudah tidak dapat
ditahan lagi. Air matanya semakin deras setelah ia melihat anak-anak itu
menangis.
“Kamu mencintai saya?
Saya tidak bisa mengelaknya. Jujur, saya kagum dengan keberanian kamu. Saya
rasa kamu berhasil membuat saya yakin atas semua ucapanmu tadi. Tetapi, tolong
sekali lagi, cintai saya karena Allah. Cintai penciptanya dahulu, baru
makhluk-Nya. Baiklah, saya menerima khitbahmu” senyumnya terpancar membelah
kedua pipinya. Matanya yang masih berkaca-kaca seolah tak ingin berhenti
mengeluarkan airnya. Akhirnya, saya menemukan sebuah keluarga kecil. Dua buah
bulan yang menyinari, anak-anak dan Annisa.
Pituruh, 10 September
2017. 22.50
0o,
BalasHapusAwto make
BalasHapuscermenne menyentuh
BalasHapus