Laman

Jumat, 22 September 2017

Cerpen : "Bulan"



Bulan

Pikirku yang tak pernah berhenti mengingat masih diiringi tangisan hati yang terus menyesali.  Tubuh penuh dosa ini masih terduduk manis di samping meja yang penuh sobekan kertas putih tanpa tinta. Sesekali mereka dihinggapi kecoa-kecoa yang sangat menjijikan. Berbagai bekas botol minuman anggur yang sudah pecah serta aksesoris bergaya urban yang memenuhi seisi ruangan. Aku menyebut tempat itu “pelampiasan”. Semua keluh kesah selalu kutumpahkan ke dalamnya.
Ruangan itu seharusnya tidak pernah ada di kehidupanku. Namun, apa daya? Itu sudah terjadi dan akan menjadi sebuah kemustahilan ketika aku berpikir untuk kembali ke masa lalu untuk memperbaiki semuanya. Diriku yang dulu tak pernah lepas dari kehidupan liar. Tepatnya, seseorang yang tak pernah tahu di mana tempat yang seharusnya kucari untuk sebuah kebahagiaan.
Ruangan itu kembali terkunci. Aku tidak ingin memasukinya lagi. Untuk apa jika hanya membuatku menyesali terus menerus. Aku sudah punya tanggung jawab. Bukankah aku harus berhati-hati dari sebuah kehidupan yang dinamai dunia?
Sebuah jalan hidup yang berbeda semenjak ibuku meninggal. Ruangan itu kutinggalkan bersama semua rasa penyesalan yang selalu menempel pada diri ini. Aku ingin pergi jauh dari masa kelam itu. Aku ingin lepas dari banyak dosa yang telah kuperbuat pada hari-hari itu.
~{0}~
          Bayangan ini masih setia mengikuti langkahku bersama kebimbangan yang sedang kupendam. Masa depan yang masih menjadi tanda tanya besar selalu menghantui. Ke mana raga ini akan berlabuh setelah banyak keonaran yang kuperbuat? Aku sungguh tidak dapat menerkanya.
            Kulihat sekelompok anak sedang mengukir kisah masa kecilnya. Mereka beranggapan semua isi dunia ini akan menjadi miliknya. Mereka selalu ingin mengenali dunia lebih luas. Anak dalam masa itu memang ambisius.
            Aku ingin sekali kembali ke masa itu. Bermain, di mana adzan Ashar waktuku ke luar dan adzan Maghrib menjadi waktuku melangkahkan kaki untuk pulang. Salah satu memori kebahagiaan yang tak dapat kuulangi lagi saat ini
            “Mau ke mana, kak? Ayo main sini”, ucap seorang anak dengan wajah bahagia yang seolah mengajakku untuk bergabung bersama teman-temannya.
“Hai, boleh kok. Tapi, maaf sebentar aja ya?”, setidaknya jawaban itu membuatnya lega. Mereka belum pantas untuk bersedih. Senyum mereka harus selalu setia menemani kebahagiaannya.
Mereka membawaku ke sebuah rumah yang dindingnya dipenuhi lumut. Sebuah rumah tua tak beratap dan pintu tanpa engsel yang hanya bisa dibuka dengan cara mengangkatnya. Mereka bermain di tempat seperti ini? Sungguh, mereka merasakan kebahagiaan yang hakiki.
“Ayo masuk, kak.”, telapak tangannya menggenggam tanganku dan menariknya masuk ke rumah itu.
Sekitar delapan anak kuhitung. Namun, aku terkejut. Ternyata, delapan anak tersebut tidak hidup sendiri. Seorang wanita dewasa menemaninya di sini.
Aku melihatnya. Lalu dia memalingkan wajahnya dariku. Apa benar masih ada wanita yang seperti ini? Jilbab yang panjang menutupi rambutnya dan terlempar hingga lututnya. Di bawahnya, dia memakai rok yang panjang hingga menutupi kakinya. Sungguh baru sekali ini aku melihat wanita seanggun dirinya.
Dia lalu berjalan ke luar. Aku mengikutinya. Rasa penasaran mulai muncul di dalam diriku. Aku terus berjalan di belakangnya. Hingga dia berhenti dan duduk di sebuah kursi tak jauh dari rumah tua itu. Aku pun mendekatinya. Tapi, berapa pertanyaan yang harus kucari jawabannya tentang dia?
“Kamu siapa? Kok kamu mengikuti saya terus dari tadi”, kepalanya menunduk. Memang terlihat sekali keanggunannya.
“Saya hanya ingin mengenal kamu”, jawabku dengan perasaan malu.
“Pentingkah bagimu untuk mengenal saya?”. Mulutku kaku setelah mendengar jawaban sekaligus pertanyaannya. Aku tak tahu harus berkata apa lagi padanya.
“Baiklah, saya Annisa. Kamu?” matanya melirik ke arahku. Namun, kepalanya masih tertunduk.
“Saya Haidar. Salam kenal. Bolehkah saya tanya sesuatu?”, aku duduk di sampingnya. Dia bergeser sedikit menjauhiku.
“Tafadhol”, ia tersenyum namun dengan posisi kepala yang sama.
“Anak-anak itu siapa? Mengapa mereka hidup seperti itu? Lalu apa keterkaitan antara anak-anak itu denganmu?”
Dia menceritakan semuanya. Mulai dari dia bertemu pertama kali dengan sekelompok anak itu hingga ia memutuskan untuk menemani kehidupan mereka. Dia bercerita bahwa sekelompok anak itu adalah yatim piatu. Mereka tidak punya tempat tinggal pada saat itu. Lalu mereka berpikir rumah tua itu layak untuk ditempati. Kondisi yang hampir sama dengan dirinya. Dia merasa terpukul melihat sekelompok anak itu tetap menjalani kehidupan dengan tersenyum. Dia lalu memutuskan untuk tinggal bersama mereka, memenuhi semua kebutuhan mereka dan memastikan mereka mendapatkan haknya sebagai anak yatim piatu.
“Lalu, bagaimana denganmu? Apa kamu juga ada keterkaitan dengan mereka?” ia sedikit mengangkat kepalanya lalu menunduk lagi.
“Saya tadi melihat mereka di jalanan sedang bermain. Lalu salah satu dari mereka memanggil saya. Saya mendekati mereka lalu diajak ke rumah tua itu. Jadi, saya belum kenal betul siapa mereka.”
“Lalu, siapa dirimu?”
“Saya dulu seorang yang hobi keluar malam. Kehidupan saya dulu tidak jauh dari balapan liar, tawuran, narkotika dan lain-lain. Namun, semenjak ibu saya meninggal. Saya tersadar bahwa hidup itu sulit. Kondisi saya waktu itu sedang tidak ada uang sama sekali. Lalu, saya memutuskan untuk bekerja sebagai kuli bangunan di desa saya. Saya terus berusaha bekerja di manapun. Alhamdulillah, sekarang saya berwirausaha dan hasilnya lumayan.”
“Astaghfirullahal’adziim...”, wanita itu beranjak dari duduknya. Dengan tergesa-gesa ia pergi menjauhiku. Mungkin ia takut karena aku seorang yang dianggapnya kurang baik. Aku terdiam. Sebegitu burukkah diriku dalam pandangannya?
~{0}~
Aku melanjutkan perjalananku. Tiba-tiba hatiku memanggil sebuah nama dan terus mengulanginya. Panggilan itu disambut dengan bayangan tentangnya dalam pikiranku. Apakah hati ini telah jatuh tanpa tersandung? Dan jujur, aku baru kali ini mengalami perasaan yang orang sebut dengan cinta.
Tampak kurasa ada seseorang yang sedang mengikutiku. Dia sepertinya tak jauh dari tempatku berdiri. Kupandangi lingkungan sekitar, tak ada jawaban. Kupandangi pohon-pohon besar yang biasa ditempati seseorang untuk bersembunyi. Namun tetap saja, mereka tak menjawab.
“Kak, kakak mau ke mana? Tolong, kak. Jangan pergi dulu. Temani kami di sini”, suara seorang gadis kecil memecah keheningan.
“Iya, kak. Kasihan kak Annisa. Kami ingin membantunya. Tapi, mau bagaimana? Kami tak cukup mampu untuk meringankan pekerjaan kak Annisa”, kali ini suara itu disambut penegasan oleh anak lelaki. Tampaknya, mereka sangat menginginkan diriku untuk ikut tinggal bersamanya
            “Oke, deh kakak mau”, senyum mereka kembali mengembang. Mereka seperti menemukan teman baru dalam diriku.
            Mereka membawaku kembali ke rumah tua itu. Langkah kakinya disertai jingkrak-jingkrak kegirangan melengkapi tawa mereka. Aku bahagia melihat mereka merasakan kebahagiaan yang hakiki. Yang tulus dari hati, bukan yang hanya terlihat dengan sepasang mata saja.
            “Kak, Kak Annisa? Kak Haidar balik lagi.... Horee!”, lagi lagi dengan loncatan kaki manjanya, mereka selalu saja bisa membuat bibir ini tersenyum. Yang dikatakan Annisa memang benar. Mereka memiliki keistimewaan yang lebih daripada anak-anak pada umumnya. Mereka masih bisa bahagia meski tanpa ada kedua orang tuanya. Aku sungguh kagum dengan mereka.
            “Hai... Mengapa kamu balik lagi ke sini?”, kepalanya selalu saja tertunduk. Hingga saat ini, aku belum bisa melihat wajah cantik yang ia miliki. Dan aku yakin, dia seorang yang mempunyai hati yang bersih.
            “Jadi gini. Saat saya sudah dalam perjalanan pulang. Saya diikuti terus sama mereka. Saya tidak menyangka kalau mereka masih menginginkan saya di sini. Padahal, saya belum berbuat apa-apa untuknya”, mata ini masih betah memandang tingkah lucu anak-anak itu. Andai saja aku bisa tinggal bersama mereka dalam waktu lama. Walau di tempat yang tidak layak sekalipun.
            “Ya, mereka memang begitu. Mereka adalah keluarga kecil yang sangat suka dengan hal-hal baru, orang-orang yang baru mereka kenal sepertimu. Rasa kekeluargaan yang tinggi sudah tertanam di dalam masing-masing hati mereka. Dengan keburukan yang kamu miliki di masa lalu tak dapat mempengaruhi pandangan mereka tentangmu. Mereka tetap melihatmu sebagai sosok pria yang penuh dengan kasih sayang, pengorbanan dan ketulusan dalam menyayangi seseorang”, ia mulai berani memandang wajahku. Ia juga mulai berani mengeluarkan senyumnya.
            “Dari hadist riwayat Thabrani berkata barangsiapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim di antara dua orang tua muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya, maka ia pasti masuk surga. Dari situ saya yakin, di sinilah kehidupan saya.”, kata-kata itu menegaskan keshalihahannya sebagai seorang wanita.
“Begitu, kah? Alhamdulillah, saya dapat ilmu baru”, aku bangun dari dudukku. Annisa juga beranjak. Aku lihat anak-anak itu mendekati kami sambil membawa sepotong kue untuk diberikan.
“Nih, kak. Kue buat kak Haidar dan juga kak Annisa. Dimakan ya, kak?”, tawar salah satu anak sambil mengulurkan tangannya. Kami pun menerima pemberian dari mereka lalu memakannya bersama.
~{0}~
“An, bolehkah saya mengatakan sesuatu?”, tanyaku bersama guncangan hati yang terus membuat lisan ini sulit mengungkap.
“Tafadhol... Mau tanya apa?”, kembali ia menundukkan pandangannya lalu membalikkan badan. Apakah ia akan menghindar lagi? Kuharap tidak.
“Apakah wajib bagi seorang pria yang terlanjur mencintai teman perempuannya, langsung mengkhitbah teman perempuannya itu? Apakah wajib mengutarakan perasaan cinta pada perempuan yang dicintai?”, kali ini aku merasa takut akan jawaban darinya.
“Menurut hadist yang pernah saya baca, intinya seorang pria setelah mengutarakan perasaannya, ia harus secepatnya mengkhitbah wanita itu. Jangan buat wanita menunggu terlalu lama.”, dengan penuh keyakinan, ia mantap menjawab pertanyaanku yang tadi.
“Jadi, kalau saya mencintaimu, saya harus segera melamarmu? Kalau itu memang hukumnya, in syaa Allah saya siap menjalankannya”, ia terkejut bukan kepalang. Ia tak menyangka betapa beraninya aku mengatakan itu padanya. Aku sendiri terkejut melihat wajahnya. Ia nampak cemas dan seperti tak tahu harus berbuat apa.
“Saya memang bukan orang baik. Saya adalah bekas pembuat onar. Tetapi, saya mempunyai tekad yang kuat untuk berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kamu lihat anak-anak itu? Mereka benar-benar mengajarkan apa arti kebahagiaan sebenarnya. Mereka juga mengajarkan bahwa ketulusan hanya berasal dari hati. Saya ingin mewujudkan semua itu. Saya ingin hidup bersamamu di rumah tua ini, bersama mereka juga. Berikan saya kesempatan”, mata Annisa berkaca-kaca. Air matanya sudah tidak dapat ditahan lagi. Air matanya semakin deras setelah ia melihat anak-anak itu menangis.
“Kamu mencintai saya? Saya tidak bisa mengelaknya. Jujur, saya kagum dengan keberanian kamu. Saya rasa kamu berhasil membuat saya yakin atas semua ucapanmu tadi. Tetapi, tolong sekali lagi, cintai saya karena Allah. Cintai penciptanya dahulu, baru makhluk-Nya. Baiklah, saya menerima khitbahmu” senyumnya terpancar membelah kedua pipinya. Matanya yang masih berkaca-kaca seolah tak ingin berhenti mengeluarkan airnya. Akhirnya, saya menemukan sebuah keluarga kecil. Dua buah bulan yang menyinari, anak-anak dan Annisa.

Pituruh, 10 September 2017. 22.50