Laman

Sabtu, 05 November 2016

Cerpen : "Ibu dan Mimpi Yang Terkutuk"

Ibu dan Mimpi Yang Terkutuk

Komputer ini masih menyala, aku sendiri masih disibukkan dengan berbagai macam deadline. Beberapa bulan terakhir ini, aku memang menjadi mahasiswa magang di salah satu perusahaan IT terbesar negeri ini. Aku diminta untuk menjadi editor di bidang perfilman. Sesuai dengan apa yang aku cita-citakan sejak aku memutuskan untuk mengambil IT di UGM.
Sebuah telepon berdering, terbaca di sana nama Raihan “Halo, San. Assalamu’alaikum...”
Dengan cepat, aku mengangkatnya, “Halo juga, Raihan. Wa’alaikumussalam.... Ada apa, Han?”.
“Bagaimana kabarmu di sana? Apakah mimpimu kini dapat melukiskan wajah bahagiamu saat ini?”.
“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Aku benar-benar merasakan kebahagiaan itu. Kini, hidupku tak seburuk yang aku kira sebelumnya. Ini benar-benar sebuah keajaiban.”
“Oh, bagus dong. Semoga kau kerasan bekerja sebagai seorang editor di sana. Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kau, untuk persahabatan kita juga.”
“Yup, makasih ya, Han?. You’re my best friend ever in my life.
Telepon ini kumatikan. Aku termenung. Panggilan Raihan mengingatkanku pada kisah 4 tahun silam, kisah yang mengubah semua jalan hidupku, awal yang membuat aku menyadari bahwa tak selamanya masa depan harus dipaksakan. Masa depan adalah misteri, hingga kita sampai pada titik itu.
~{0}~
This is our chance. I won’t let it go. We have to reach them,” ucapku sambil menenggak secangkir kopi panas buatan ibuku. “Ya, kita tidak boleh melewatkannya. Mimpi dibuat untuk diraih. Untuk apa beribu untaian tentang tujuan hidup yang hanya terpampang di kening kita?Dreams are made by yourself, so, you must to achieve them,” ibuku memang berpengalaman soal menasihati anak manusia. Apalagi topiknya itu tentang masa depan. Jutaan kata telah ia keluarkan dari mulut pintarnya. So excellent, isn’t it?.
            “Wow, bagaimana bisa paduan kata itu disatukan menjadi sebuah nasihat bijak? Ibumu memang berbakat untuk jadi suksesor Mario Teguh,”Raihan mencoba mencairkan suasana.
“Ah,... Kamu bisa saja,” sahut ibuku sambil menyajikan dua porsi nasi goreng khasnya.
Namaku Hasan. Nama-nama khas orang Muslim. Kenyataanya memang begitu. Cita-citaku menjurus ke arah agraris. Agrobisnis, itulah tujuan hidupku. Kau tahu apa itu mimpi? Aku tidak butuh jawaban benar, aku hanya butuh ucapan mereka yang benar-benar mengerti soal mimpi.
            Langkah kakiku menjelaskan semuanya. Dengan cepat, aku melahap tiap-tiap meter yang ada di depanku. Aku hanya fokus pada satu arah, yaitu depan. Hanya ke depan mataku memandang, bukan ke samping, apalagi ke belakang. Bagiku, belakang hanyalah memori yang tak akan aku ulangi. Mungkin sesekali aku menengok ke arah itu, ketika aku membutuhkan kegagalan demi beribu kesuksesan.
            Kesuksesan adalah harga mati bagi setiap manusia yang masih diberi kesempatan untuk bernafas. Pendapat itu juga berlaku pada diriku. Bukan hanya diriku, kau juga berharap untuk mendapatkan kesuksesan itu, bukan? I’m sure about that! Seperti yang aku katakan tadi, kesuksesan itu adalah harga mati.
            “Hai, kawan. Apa kabar? Masih memikirkan mimpimu yang super itu ya?”,Raihan menyapaku.
            “Alhamdulillah, baik. Untuk apa memikirkan impian itu terlalu lama, kawan? Waktu terus berjalan, apakah kita gunakan waktu hanya untuk berpikir bagaimana cara untuk meraihnya? It’s not correct, isn’t it? Jadi, jangan mikir melulu. Otak juga butuh istirahat. Do you understand me? I hope that’s happened,” mulutnya menganga, seperti terkagum mendengar pernyataan itu.
            “Sudahlah, berhenti memikirkan perkataanku tadi. Pikirkanlah dengan cara apa dirimu berjuang, dengan cara apa dirimu dapat mewujudkan impian. Hei, bangunlah dari tidurmu. Lakukanlah apa yang harus kau lakukan. Dream, believe, and make it happened!”,  sebuah lekuk indah tersungging di bawah hidungnya. Wajahnya dapat memberiku sinyal tanda ia sudah mengerti tentang apa yang kukatakan padanya.
            “Sahabatku ini memang hebat. Proud of you!Akhirnya, aku menemukan sisi motivator dalam dirimu,” puji Raihan.
            “Thanks, aku akan selalu siap menjadi apa yang kau inginkan,” aku merangkul dan mendekap tubuh Raihan. Ia pun membalasnya dengan agresif. Kami berdua saling mendukung, saling menasihati, dan saling menyatukan tekad demi perwujudan mimpi masing-masing.
~{0}~
            I used to think that I could not go on and live was nothing but an awful song. But, now I know the meaning of true love. I’m leaning on the everlasting arms. If I can see it then I can do it. If I just believe it, there’s nothing to it. I believe I can fly. I believe I can touch the sky. I think about it every night and day. Spread my wings and fly away. I believe I can soar. I see me running through that open door. I believe I can fly, I believe I can fly, I believe I can fly.
            I Believe I Can Fly milik Robert S. Kelly itu mengalun indah di speaker Music Box milikku. Setidaknya lagu itu menggambarkan seseorang yang ingin terbang. Ya, terbang. Terbang tinggi meraih impian.
            Aku masih terdiam menikmati pancake cokelat yang ibu berikan padaku. Rasanya? Sungguh, lidahku berkata nihil. Seperti percuma saja aku memakannya. Terbayang manisnya impian tersebut jika aku berhasil mewujudkannya. Terbayang bagaimana ibuku berbangga diri dengan pencapaianku. Aku ingin terbang jauh melampaui ekspektasi orang.
            “Agrobisnis? Kamu yakin dengan mimpi itu?” sejumlah keraguan muncul di wajahnya. Ibuku mulai tidak mengerti apa yang ingin kupersembahkan bersama impianku tersebut. Bahkan, ia tak merestuiku untuk melanjutkan studi ke IPB. Ia memaksaku untuk mengikuti studi lanjutan IT di UGM yang notabene lebih dekat jaraknya dari rumahku sekarang. Ya.. Aku bisa saja menerima tawaran itu karena aku sedikit cakap ‘memainkan’ komputer. Tapi, tetap saja, mimpi tetaplah sebuah mimpi. I ‘ll never stop dreaming since I wrote them. Jadi, kau mengerti permasalahanku sekarang, bukan?.
            Memang, aku sedang butuh kata-kata yang dapat mengangkat semangatku. Biasanya kata-kata tersebut keluar dari lisan ibuku. Tapi, kali ini yang dikatakan ibuku sungguh bertolak belakang dengan apa yang aku pikirkan saat ini. Yang dulu aku pikir, ia akan mendukung mimpiku, tapi mengapa ia mempertanyakannya sekarang?
            “Sudah aku katakan pada ibu. Aku tak bisa melakukan apa yang ibu mau. Hati ini sudah memilih apa yang terbaik bagiku. Jika ibu bersikeras untuk memasukkanku ke kampus itu, jangan harap senyumku kembali menghiasi pandangan ibu.”
            Melawannya? Aku terpaksa melakukan itu. Mengapa sih ia tak pernah memahami diriku?. Rasa pede-ku lenyap seketika diterjang ombak keraguan. Senyumku pun berbeda nada, yang semula indah berubah tak karuan. Cemberut yang menghapus ceriaku di sore ini.Kata-katanya bak menjatuhkanku dari ketinggian 300 kaki.
Aku tak mengerti sesaat ia menjadi penyemangatku, sesaat pula ia berubah menjadi keraguanku. Aku ini sudah dewasa. Aku berhak menentukan masa depanku sendiri. Masihkah pantas diriku disetir olehmu, ibu? Sungguh, aku hanya ingin menentukan perjalananku sendiri.
~{0}~
            Aku tetap bersikeras, bersikukuh pada keputusanku. Aku berangkat ke Bogor tanpa sepengetahuanibuku secara langsung. Tapi, bukan berarti ibuku tak tahu kemana aku pergi. Aku telah meninggalkan secarik kertas yang telah tercoreng tinta hitam, surat. Aku meninggalkannya di meja dapur.
            “San, kamu sama sekali tak memberitahu ibumu?” tanya Raihan sesampainya di stasiun.
            “Tenanglah, aku sudah buat surat untuknya, kok. Aku pikir setelah ibu membacanya, ia akan langsung mengerti. Bagaimana tiketnya? Sudah siap, kan?”
            “Emm,... Sudah, kok. Tapi, bagaimana kalau......”.
            “Han, bersiaplah, bawa barang-barang kita, kau tak ingin terlambat, bukan? Kereta kita tiga menit lagi sampai.”
            Raihan dengan cepat mempersiapkan barang-barangnya. Raihan pun ikut ke Bogor untuk mendaftar di IPB. Ia mengincar Agricuture, sedikit berbeda denganku. Rencananya ia akan bekerja di Perhutani. Yaa... Kita lihat sajalah perkembangan paru-paru dunia kita. Semakin hari semakin berkurang jumlah penghuninya.
            Kadang, aku suka meledeknya. Kita lihat saja sekarang, hutan-hutan di sini semakin terdestruksi. Apakah kau tak khawatir saat kau bekerja? Objek yang akan kau kerjakan telah lenyap dilibas oleh tangan-tangan biadab yang ada di negeri ini. Mereka yang tak suka terhadap keberadaan pohon-pohon yang menutupi, pohon-pohon yang hanya membuat gelap bumi ini. Seberapa dayamu untuk menaklukkan mereka?Ia hanya diam setiap kali aku mempertanyakan mimpinya. Diam bukan berarti kehilangan percaya diri. Ia membuat semua kata-kataku sebagai motivasinya. Aku melihatnya, setelah beberapa saat ia mendengar ejekan dariku, senyum percaya dirinya terpancar indah bak sinar rembulan di malam yang cerah.
            “Han, kira-kira dengan kemampuan yang aku punya, apakah aku bisa menembus mimpiku?”
            “Percaya diri akan membuatmu yakin akan kemampuanmu, belajar akan meningkatkan keilmuanmu, dan ibadah akan membuat mimpimu menjadi mudah untuk diraih. Tapi,...,” Raihan menarik nafasnya. Ia nampak ragu untuk meneruskan ucapannya.
            “Tapi apa?” rasa penasaran menguasai hatiku. Ribuan tanda tanya berbaris menghiasi seluruh ruang di dalam otakku. Aku sungguh ingin tahu.
            “Tapi, sebenarnya yang kau butuhkan tak hanya itu. Kau butuh hal yang begitu penting. Penting sekali. Hal inilah yang akan menentukan jalan hidupmu kelak,” aku semakin dilanda rasa ingin tahu yang terlampau tinggi. Aku sangat tak mengerti apa yang terucap di lisan Raihan.
            “Katakan apa itu?” aku kembali menunjukkan rasa penasaranku.
            “Sebelumnya, ada hal yang ingin aku tanyakan padamu waktu itu. Tapi, sayang, kau terlalu cepat memotong kalimatnya. Sudahkah kau mendapat restu yang benar-benar ikhlas dari ibumu tentang mimpimu ini?”.
            “Sepertinya belum, memangnya kenapa?”.
            “Kita harus kembali, lupakan mimpimu sejenak, kau harus mendapatkan restu itu. Karena sesungguhnya restu dari ibu lah yang akan selalu mewarnai setiap langkah kehidupanmu.”
            Astaga, apa yang aku lakukan terhadap ibu?
~{0}~
            “San, aku dapat kabar kalo ibumu sedang sakit sejak malam tadi,” wajahnya cemas.
            “Benarkah? Astaghfirullah, berapa jam lagi kita sampai di rumah?” aku merasa bersalah atas apa yang aku perbuat terhadap ibuku. Aku sering menentang keputusannya, meninggalkannya sendirian, serta membiarkannya jatuh sakit. Anak macam apa aku ini?
            “Masih sekitar 30 menit, masih ada waktu untuk berdoa agar ibumu sehat kembali,” Raihan mencoba untuk menenangkanku. Cukupkah? Tidak. Aku masih saja panik mendengar ibuku jatuh sakit.
            Sesampainya di jalan depan rumahku, aku melihat banyak orang yang mengerubungi sekeliling rumahku. Ada apa gerangan? Aku bergegas menemui ibuku, dimana ia? Entahlah. Aku hanya ingin kembali memeluknya, meminta maaf padanya, dan meminta restu agar aku dilancarkan jalan untuk meraih mimpi yang mungkin masih terkutuk ini.
            “Inna lillahi wa inna ilaihi roji’uun...”, salah seorang tetangga ibuku mengucapkannya. Setelah aku mendengarnya, raga ini mempercepat langkahnya. Tidak boleh, tidak boleh ia meninggalkanku sebelum aku membahagiakannya. Aku tak percaya. Berita itu bohong. Aku akan membuktikannya.
            Ku buka pintu kamarnya, aku terkejut bukan kepalang. Raganya terbaring lemas tak berdaya. Apa yang terjadi pada ibuku? Sungguh ia benar-benar tanpa daya.
            “Ibu tak boleh pergi secepat ini, anakmu ini belum menunjukan kesuksesannya. Bangunlah, bu. Aku mohon. Ibuuuuuu........!!!! Aghhhhh....”
Air mata deras membanjiri seluruh permukaan wajahku. Aku menyesal, mengapa semuanya berakhir secepat ini? Semua sudah terlambat. Tiada lagi kesempatan untuk membuatnya tersenyum. Oh, Tuhan, jika waktu dapat diulang lima menit saja, sungguh, aku ingin melihat senyum yang terpancar di mulutnya. Meski itu yang terakhir kali. Maafkan aku, ibu. Aku sungguh khilaf kepadamu.
Dalam penyesalan ini, aku masih teringat ucapan Raihan. Ia berkata bahwa kesuksesan mimpi berawal dari restu dan do’a orang tua, terutama ibu. Sekarang, ia telah pergi selama-lamanya. Mimpiku pun telah menjadi mimpi yang terkutuk. Mimpi yang belum sempat aku tunjukkan pada ibu.

Pituruh, 28 Oktober 2016. 13.07

Sabtu, 24 September 2016

Cerpen : "Di Balik Sebuah Topeng"

Di Balik Sebuah Topeng


            Pagi mengutus mentari dan mencoba membuatku tersenyum. Ia sungguh mengharapkan lekuk indah tersungging di bibirku. Aku harap, pagi akan terus menyapa bersama kicau burung-burung yang beralun menciptakan tangga-tangga nada penyejuk hati.
            Seorang gadis berjalan menjauh dari pandangan. Punggungnya tersamar kabut pagi setengah dingin. Aku mengenalnya, bahkan kerap melihat. Langkah kakinya membuatku semakin mengenal sosok itu. Hati memaksa raga untuk mengejarnya. Pikiranku tak sepaham. Aku putuskan berlari mengejar. Sementara, gadis itu mulai tak terlihat lagi. Aku tetap mengejarnya meski waktu menahan diriku untuk berjumpa dengannya.
~0~
“Iya? Ada apa?”, Rani memalingkan wajahnya ke arahku. Dibukanya sebuah novel berjudul Sang Pemimpi karya keren dari seorang penulis ternama, Andrea Hirata. Perangkat headset terpasang di telinganya. Sepertinya, dia hanya mendengarkan musik dari satu sisi, mungkin sisi satunya rusak.
            “Nggak, kok. Nggak apa-apa. Kamu serius banget baca novelnya,” ucapku. Aku melamunkan sesuatu. Dalam otakku tertulis untaian kata,
“Kapan mataku bersemangat menyambut dan membaca keindahan sastra? Kapan jemariku kembali menitikkan tinta, menulis beribu harapan yang hanya aku simpan dalam kalbuku? Aku telah kehilangan motivasi dalam mewujudkan berjuta cita dan ambisi. Aku telah lenyap dari keelokan pelangi.”
“Iya, nih. Seru banget. Kamu mau baca?” Rani menyodorkan novel yang cukup tebal itu kepadaku.
“Lain kali aja, deh. Aku nggak enak sama kamu. Novelnya kan belum kamu baca sampai selesai. Dibaca dulu dong sampai selesai, baru kasih pinjem aku kalo kamu udah selesai bacanya. Oh, iya, aku tinggal sebentar ya? Ada sedikit urusan”.
Itulah cara topeng ini bercakap. Itulah cara topengku mengelabui semua orang. Topeng ini berhasil memalsukan bahagiaku. Ia pandai menghapus air mataku. Aku merasa amat beruntung, namun juga gundah. Suatu hari, topeng ini akan aku lepas pada waktunya.
“Oh, iya iya, hati-hati, Zayn...”, senyumnya mengunci kedua bibirku. Ia seolah menghentikan nafasku sesaat. Aku terpatung memandangnya. Mataku mengklaim dirinya gadis yang polos, cantik, rupawan, indah, dan penuh dengan pesona. Ahh... Tidak! Aku hampir kehilangan sadarku. Aku sungguh tak punya alasan untuk berhenti memujanya.
“Zayn, kenapa? Ada yang salah, ya?”, wajah Rani melukiskan kepolosan dirinya. Bahkan mungkin, ia tak mengerti apa itu fashionable, atau yang lain? Perfeksionis mungkin? Yang ia tahu adalah bagaimana menjaga hatinya, bukan penampilannya. Lebih baik begitu, daripada ia terjerumus dalam jurang kebobrokan moral anak-anak zaman sekarang.
“Iya,... Itu anu... Emm... Kamu cantik!” ahh... lagi-lagi aku salah ngomong. Mengapa aku mengatakannya? Betapa gegabahnya diri ini.
“Emm.. Makasih, Zayn”, ia tersenyum.
“Sama-sama, tembem.”
“Ih, apaan sih? Nggak lucu tau...”
“Kamu yakin? Tapi, kamu beneran tembem lho...”
“Terserah kamu mau ngatain aku tembem, gembil, jelek, atau apa. Yang penting aku tetap Rani. Bukan siapa-siapa”.
“Iya, deh. Aku nurut”, karena tak tahan, aku pun mencubit pipinya dan berlari secepat mungkin.
“Zayn, awas kamu, ya?”, Rani pun menyusul. Tetapi, aku sangat yakin kaki kecilnya tak akan bisa mendahului kecepatan kakiku.
“Ayo, dong. Kejar aku! Buktiin kalo kamu itu nggak tembem”,. Membuat seseorang tertawa adalah kewajiban bagiku. Apalagi orang itu adalah sahabatku sendiri. Kurang lengkap rasanya apabila dalam suatu hubungan tidak ada saling ledek, saling berbagi tawa dan saling bercanda selama itu tak menyakiti salah satu pihak.
“Oke, Zayn. Siapa takut!”, Rani mempercepat larinya. Ia seakan tertantang oleh ucapanku.
        “Sini dong, Ran”, semakin ku percepat langkahku ini. Aku ingin tahu seberapa ia tertantang oleh ucapanku. Aku tidak yakin.
         “Udah, ah. Aku capek”.
         “Ah, nggak asyik. Gitu doang kok capek?”.  
         “Iya oke. Aku tembem, jelek, item. Puas kamu?”.
“Maaf, Ran. Kan cuma bercanda. Kamu kaya nggak ngerti aku aja.”
~0~
Aku kembali asyik dalam kegemaranku, menulis. Aku gemar menulis apa saja yang ada dalam hati dan pikiranku. Dan saat ini, Rani menguasai semuanya, bahkan tanganku dipaksa untuk mengabdikan nama Rani di secarik kertas yang ada di atas mejaku.
Di luar, terdengar suara-suara polos terngiang di mulut bocah-bocah desa. Mereka sungguh bahagia. Memang mereka begitu, karena mereka belum merasakan rumitnya cinta. Yang ada dalam pikirannya mungkin hanya bermain, makan, tidur dan lakukan apa yang ingin mereka lakukan. Sangat simpel, tak seperti kasus kopi sianida Jessica Kumala Wongso atau kasus penyanderaan WNI di Filipina oleh kelompok Abu Sayyaf yang sangat marak akhir-akhir ini.
“Zayn, ada yang nyariin kamu, tuh..”, panggil seorang gadis dengan nafas yang terengah-engah.
“Emm... Siapa dia?”, aku menoleh ke kanan, tepatnya ke arah gadis itu.
“Rani. Dia udah nunggu kamu dari tadi. Katanya sih, kamu mau belajar bareng dia.”
Aku tersentak dari tempat dudukku. Getaran ini kembali terasa. Getaran yang mengguncang batinku. Aku terlupa akan janjiku sendiri. Aku terlalu asyik memikirkan sesosok bidadari yang menguasai seluruh penjuru hati.
Aku bergegas menemui Rani. Aku harus tepati janjiku. Apalagi janji untuk menemui dirinya. Aku tak boleh terlambat. Demi cinta, aku akan berlari. Lihatlah diri ini, aku tak sadar kalau melupakan semuanya demi cinta. Cinta telah merasuki hidupku. Cinta memang egois.
“Zayn, dari mana aja kamu? Katanya kamu minta ajarin aku”.
“Aku baru beli camilan buat makanan kita. Emm.. By the way, aku nggak jadi minta ajarin kamu, deh. Maaf, aku telat. Aku bikin kamu kecewa, ya?”
“Nggak, kok. Aku nggak marah. Kamu juga sibuk, kan? Makanya kamu tunda janji kamu demi hobimu itu. Kalo kamu nggak jadi, aku pulang aja, ya? Di rumahku masih banyak cucian yang belum aku cuci”, aku berhasil menangkap gerakan matanya. Ia nampak gelisah. Raut wajahnya dapat memberiku penjelasan. Ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.
“Emm... Ya udah, deh. Hati-hati sahabat.”
Aku kehilangan sosok Rani. Aku tak menjumpai senyum bahagianya terpancar di bibirnya. Aku juga tak menemukan kepolosan yang selama ini ia lukiskan melalui kelembutan hatinya. Koneksi antara hati, pikiran, dan lisannya tak lagi terjalin sebagaimana mestinya. Ini sungguh aneh. Kebohongan besar tersirat di bola matanya. Begitu pun juga dengan diriku. Batinku amat yakin lisannya mengatakan kalimat yang bukan dituturkan hatinya.
 Dia telah melangkah jauh meninggalkan raga ini. Dia juga memaksa mataku agar berhenti menyaksikannya. Aku kehilangan dirinya di detik ini. Mentari pun ikut larut dalam kesedihan. Bak diguyur paku-paku yang tajam, tertunduklah kepala ini, merenung dalam kejahatan cinta.
Cinta kadang membuat hati yang merasakannya terluka. Hatiku terjajah para pemanah api. Mereka mambuat lubang yang terbakar di setiap sudut hati. Cinta ini sedang berjuang mendapatkannya, mendapatkan pujaan dan pendamping setia dalam hidupnya.
Senja datang mengingatkanku akan dirinya. Aku memandang jutaan bulir padi yang menggantung dan rumput-rumput yang berdansa mengikuti irama angin. Sesekali mereka membuatku tersenyum. Tetapi, tetap saja mereka tidak pernah mengerti akan cinta. Mereka tak akan pernah tahu apa isi hatiku maupun hati setiap insan. Kini, aku hanya mengharapkan dia kembali padaku.
Raniiiii........!!!
~0~
Aku harus tetap mencarinya. Tak peduli petaka menghalangiku. Akan aku tunjukkan apa itu perjuangan. Akan aku ajarkan dia bagaimana cara memperjuangkan cinta. Sungguh, hatiku memanggil namanya. Tetapi, mengapa ia tak mengerti?.
Ku percepat langkahku. Ku abaikan rasa lelah ini menikam seluruh tubuh. Karena aku yakin, semunya lenyap dalam sekejap ketika aku melihatnya, meraih tangannya dan kembali memeluknya. Aku berjanji akan membuat senyumnya muncul di setiap detik. Aku akan menangkapmu wahai pencuri hatiku.
Cahaya datang menghampiri pandanganku. Gadis itu mulai terlihat. Ia menyelinap di bawah cahaya rembulan. Aku merasakannya. Cinta telah memberiku petunjuk. Semakin kudekatkan tubuh padanya. Kami saling menatap satu sama lain. Entah apa yang ada dalam benaknya, yang jelas aku senang kembali menatap matanya.
“Rani, lihat aku!”
Tiba-tiba ia berbalik arah tanpa alasan. “Untuk apa kamu ke sini? Tolong, jangan buat aku menderita. Aku mohon.”
Isak tangis menyertai ucapannya. Teringin sekali tanganku menghapus air matanya.
“Rani, kenapa sih? Udah dong, jangan biarkan air mata melemahkan hatimu. Aku sungguh tak bisa melihatmu menangis.”
“Maaf, Zayn. Jika air mata ini dapat membuatmu mengerti apa arti cinta, aku akan berhenti mengeluarkannya. Jika kamu tahu apa arti wajahku saat ini, tatap aku. Aku enggan menggantungkan semua ini terlalu lama. Aku ingin kamu mengerti semuanya,” guyuran air semakin deras mengalir dari kedua matanya. Setiap kucurannya membuatku terpukul. Aku tak tahu maksud dari semua yang ia katakan.
“Zayn, aku terlalu lama memakai topeng ini. Dengannya, aku menipu semua orang, termasuk dirimu. Jadi, perkenankan aku melepaskannya sekarang.”
“Aku mencintaimu sejak pertama kali ku membuka mata untukmu. Aku sangat menyayangi dirimu. Tapi, kau tak pernah mengerti perasaanku. Aku selalu ingin berubah menjadi lebih baik di matamu. Aku juga ingin mengeluarkan semua kegundahan yang ada dalam diriku dengan memelukmu. Kini, topeng yang menempel erat di rupaku telah menyelesaikan tugasnya. Sudah saatnya aku mengubur dirinya dalam memoriku.”
Tubuhku terhempas ke bumi. Pernyataannya sungguh menusuk hatiku. Aku tak menyangka, ia sudah mencintai diriku terlampau dalam, bahkan sebelum aku mencintai dirinya.
“Maafkan diri ini, Rani. Maafkan diriku yang selalu menyakitimu. Sebenarnya, aku pun juga memiliki rasa yang sama. Niatku adalah membahagiakan bidadariku yang kini ada di depanku. Maafkan diriku juga yang terlalu lama menipumu dengan topeng ini. Hati tak bisa berkata lain. Aku mencintaimu, Rani!”.
Kulihat pancaran matanya berbinar. Kini impian kami terwujud. Meski begitu, kami punya janji akan tetap menjadi sahabat yang baik. Sahabat hati dalam satu cinta. Hidup kami tak melulu soal cinta, soal perasaan, tetapi soal bagaimana kita merubah semua itu menjadi sebuah hal yang mengasyikkan.
Kami sadar, memakai penutup wajah hanya akan membuat mereka tertipu. Hanya akan membuat kami tak menyadari siapa kami. Kami sungguh menyesal menutupi rupa kami dengan topeng itu. Kami kehilangan identitas.
Kini, topeng itu pergi. Menghilang, mencari empunya yang baru. Mereka sangat berdosa. Kami pun berdosa. Mengapa kami memasang mereka terlalu lekat di wajah kami? Kami telah gegabah. Mengapa kami memberi kesempatan pada mereka untuk membohongi orang lain? Kini, kami pastikan topeng itu tak akan kembali pada kami, karena kami telah dilindungi sebuah benteng yang kokoh bernama CINTA.

Pituruh, 3 September 2016. 20.09